Sabtu, 01 September 2007

Media Tanpa Masses

Berbagai informasi membanjiri, bahkan mengintimidasi, kita kini: lewat infotainment, infomersial, dokudrama, home video, talkshow dan gosip internet. Di era reformasi Indonesia yang kian kompetitif kini, bisnis media semakin meruncing. Pasar media menjadi semakin sengit.
TV Kabel dan internet kini menginformasi kita tanpa jeda. Kehadiran teknologi digital meruncingkan persaingan pasar media. Di AS, misalnya, total penjualan suratkabar perhari menurun dari 62,3 juta (1990) jadi 60,7 juta (1991). Suratkabar bersaing dengan 12.000 majalah, 8500 mingguan, 350 stasiun TV komersil, 500 stasiun TV layanan publik, 10684 sistem TV kabel, 9500 stasiun radio dan 2650 layanan database (Wilson, 1992). Lebih dari 150 surat kabar harian gulung tikar selama 25 tahun. Menurut poling Times Minor Center (April 1995), tinggal 45 persen masyarakat yang membaca suratkabar sehari sekali. Pada 1993, jumlahnya masih 8 persen.
Penurunan terjadi pada pemirsa berita televisi, tinggal 48 persen yang menonton berita TV jaringan malam, turun dari 60 persen pada 1993. Jaringan TV Nasional, yang dulu berkibar, bersaing dengan ratusan TV kabel. Pesaing lainnya, melalui jaringan serat optik, situs internet mentransmisikan berbagai berita dan layanan khusus langsung ke rumah. Pesaing seterusnya, siaran semi–berita talkshow radio, siaran iklan dan infotainment, yang meninformasikan pesan secara cover both sides, sudut pandang yang seimbang, dan mengklaim jualan informasi “objektif”.
Tapi soalnya bukan cuma teknologi.

Jurnalisme Publik
Media menjadi “krisis” (bukan kritis) ketika melakoni kaidah jurnalisme, tulis pengamat media Scott Shuger (1998). Krisis itu ada di struktur pelaporan berita. Informasi tidak digali. Aarah dan isi pesan menghilang. TV dan radio dan media elektronik lain amat-sangat mengejar aktualitas. Sajian beritanya hanya mengejar fakta tunggal – dalam kesekilasan detik dan menit laporan reporter dan “presenter”. Kemendalaman informasi pun hilang, dan berita cuma ada di seputar fakta utama. Pers cetak terjebak kharisma ketokohan sosok, atau berkutat di isi kejadian yang tengah menghangat. Akibatnya, fakta-fakta penting tak tergarap, dan bahkan terjebak di isu-panas para elit ketimbang publik.
Semua itu mengakibatkan bias jurnalisme yang hendak mengangkat kepentingan dan kebutuhan publik
Media massa kerap gagal melayani publik ketika harus memberi informasi, terkecuali saat menghibur, membuat sensasi dan mengeduk uang. Hal ini membuat banyak pihak kini membicarakan “civic or public journalism”. Berbagai pihak menolak ruang publik dimanipulir, dibikin katro, oleh media.
Media kerap menyingkirkan demokrasi, dan menjadi media propagandis atau media penghibur (entertainers). Media sering menjauhi publik, dan menjadi media yang suka melebih-lebihkan pesan “pesanan” (propaganda), atau media yang suka melebih-lebihkan pesan “hiburan”. Dunia media seakan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan dari totalitarian state, atau dikoyak-koyak oleh negara entertainment. Media menjadi pesuruh politisi yang mengampanyekan gerutuan politis. Media menjadi pedagang yang dikejar-kejar target advantage dan marketing. Konglomerasi media telah mensubordinasikan jurnalisme ke dalam kepentingan politis atau komersial.
Karena itulah, publik kini dihadirkan. Jurnalisme publik muncul, berkembang dari gambaran “Trustee Model”. Model ini menolak “a Market or Advocacy model”: gambaran kerja media mengejar-ngejar pasar atau teriakan-teriakan politis. Trustee Model merupakan kegiatan media yang melaporkan berita yang seia-sekata dengan sekelompok publik. Berbagai beritanya klop dengan yang dipikirkan dan diyakini publik yang jadi subyek pemberitaan. Media tidak iseng sendiri, memasa-bodohkan publik di dalam pemberitaannya. Dengan kata lain, publik diberi layanan khusus di pelaporan berita. Publik diajak arisan di dalam proses pemberitaan: mereka berhak mengoreksi, menunjukkan, atau memunculkan apa-apa yang jadi persoalannya. Dengan cara beginilah, kepercayaan (trustee) publik coba diraih (Schudson, 1998).
Publik tidak jadi sekadar indeks-indeks pelaporan media. Publik bukan nama-nama statistik yang dicatat pernyataan-pernyataannya, atau direkam hal-hal yang dialaminya, lalu tidak diperhatikan lagi pelbagai kepentingan, keyakinan, atau pemahamannya. Setelah berita selesai dilaporkan, publik ditinggalkan begitu saja. Media merasa bebas dari persoalan publik yang dilaporkannya. Wartawan pulang ke rumah, meneruskan hidup kesehariannya, dan besoknya bersiap mencari peristiwa baru (dan publik baru) untuk dilaporkan sebagai berita.
Ini yang ditolak jurnalisme publik. Dalam jurnalisme publik, media menjadi saluran yang dipercaya betul bisa memegang janji untuk membela kepentingan publik. Media di yakini betul akan membantu persoalan publik. Jurnalisme publik ibarat pergantian perpindahan shift dari jurnalisme informasi (journalisme of information) ke jurnalisme percakapan (journalism of conversation). Amsalnya: publik tidak hanya membutuhkan informasi. Publik membutuhkan komitmen media untuk memberitakan peristiwa melalui proses yang melibatkan diskusi dan debat pelbagai pihak – yang terkait dengan peristiwa tersebut.
Publik menjadi faktor utama? Bagaimana dengan peristiwa itu sendiri? Apa wartawan harus memihak? Bukankah itu berarti subjektif? Tidak, tidak, dan tidak. Di sini yang berproses adalah tradisi jurnalisme yang tetap menetapkan netralitas dan objektifitas di dalam pelaporan berita. Akan tetapi, menjauhi kepingan politisasi atau advokasi. Jurnalisme tidak dipengaruhi kedua hal itu.

Penutup
Tingkat persaingan yang tajam membuat sajian dan isi media banyak yang beorientasi pada “sensasi” sentimen isu yang dangkal. Kepemilikan media juga membuat jarak kian lebar antara idealisme pers dengan bisnis. Idealisme disini ialah visi dan misi tanggung jawab media terhadap masyarakat. Era konglomerasi media bisa mensubordinasikan jurnalisme ke dalam kepentingan komersial. Bukan berita. Bukan jurnalisme.
Rakyat membutuhkan panduan yang bisa dipercaya ketika aliran informasi menyerbu rumah mereka. Kebajikan utama jurnalisme ialah menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat untuk dapat leluasa dan mampu mengatur dirinya. Jurnalisme, dari realitas yang dilaporkannya, menciptakan bahasa bersama dan pengetahuan bersama. Media jurnalisme menjadi wacthdog, anjing penjaga, berbagai peristiwa yang baik dan buruk, dan mengangkat aspirasi yang luput dari telinga orang banyak.
Masyarakat memerlukan penjaga gawang (gatekeppers) informasi yang tepat. Gatekeeper adalah unsur penting dalam proses pelemparan berita. Tiap skema rencana dan pelaksanaan reportase ada antara lain dalam keputusan gatekeeper. Ini merupakan satu pemindai bagaimana kelangsungan sebuah media mengangkat dan menenggelamkan kepentingan masyarakat.Jurnalisme publik mengisi ruang publik yang kehilangan media diskusi. Muncul dari kalangan media sendiri yang jenuh dengan politik, kapitalisme, media market system, serta tatanan apatis dan sinis: yang hanya menggerutu, “puas..puas...puas...!!.***