.
Rabu, 02 April 2014
Jurnalisme Naratif-Investigatif "Saksi Kunci"
Jumat, 26 Agustus 2011
Jurnalisme, Politik, Indonesia: dalam Memoar Biografis Mochtar Lubis
David T.Hill kembali meneruskan cerita pers dan politik bagai dua saudara kembar. Masing-masing selalu ingin bergandegan tangan ketika, khususnya, jalan-jalan di sebuah negara atau bangsa. Jika yang satu salah, yang satu akan teriak. Bisa jadi, saat yang satu kepingin iseng, mencolek saudaranya, maka, yang dicolek akan langsung bangun berdiri, dan melotot.
Tapi, dalam buku terbarunya, Jurnalisme dan Politik di Indonesia (2011, YOI, Jakarta), hal itu diangkat Hill dalam kaitan memoar biografis seorang tokoh pers Indonesia: Mochtar Lubis. Tokoh yang tak mungkin bisa di-delete jika orang bicara pers dan politik di Indonesia. Sosoknya hadir begitu kuat di dalam realitas keindonesiaan: dalam sikap dan pemikiran dan tindakannya. Saking kuatnya karakter “pers campur politiknya”, ia pun dijuluki Kepala Granit.
Buku ini memang meriwayatkan hidup seorang pria, yang memiliki sikap dan tindakan “pers campur politik” yang sekeras batu granit. Seorang pria pembangkang. Pria yang tak mau bertekuk lutut pada yang salah. Dan dari pembakangannya, ia berbagi “kebenaran” dengan wartawan lain, pengarang lain,bahkan budaya lain dan negeri-negeri lain.
Tapi, dari pembangkangnya pula, menyeruak kisah Indonesia pada paruh kedua abad duapuluh. “Ketika rakyat Nusantara menjadi bangsa merdeka....ketika praktik jurnalisme kontemporer mengambil bentuk...,” tulis Hill (hlm14). Ketika media cetak dan tokoh-tokohnya tampil: mengendalikan kehidupan politik, pendidikan, kebudayaan, dan memberi arti apa itu Indonesia. Sebuah era: “ketika para pemimpin redaksi media cetak yang berkepribadian kuat menguasai industri dan berbicara langsung kepada pimpinan bangsa, atau ... beradu pendapat dengan para politisi ...”
Pikiran dan tindakan “pers campur politiknya” tercatat sampai jauh. Misal, dalam sejarah pers Indonesia. Ross Eaman[i] (2009: 171-172), dalam Historical Dictionary of Journalism, mencatatnya. Eaman menggambarkan bagaimana pers di Indonesia awalnya digerakkan oleh European news. Pada akhir abad 18, Belanda membuat koran di Indonesia. Setelah mencatat Bataviasche Courant (1816), Medan Prijaji (1907), komunitas Tionghoa-Indonesia mem-binis-kan pers – dengan bahasa Melayu-Betawi (Batavian Malay), lalu masa penjajahan Jepang (1942), dan pemunculan pers nasionalis underground press, Eaman menyelipkan nama Mochtar Lubis. “Mochtar Lubis, editor of Indonesia Raya (1949–74), was jailed by both the Sukarno and Suharto governments,” tulis Eaman, dari School of Journalism and Communication at Carleton University di Kanada.
Nama Mochtar Lubis terkait dengan sejarah pers Indonesia, yang sesudah Perang Kemerdekaan, berada dalam cengkraman kendali pemerintah. Dan, cengkeraman itu mengendur, ketika Orde Baru runtuh : “Only since the resignation of Suharto in 1998 has the press begun to acquire a measure of freedom, leading to a rapid growth in news media.”
Dan, perubahan pun terjadi. Dan, riwayat pembangkangan pun kini menjadi tak seheroik lagi. Dan, kisah pemimpin redaksi pun berubah jadi konsumsi komoditas. Seperti menyambung dengan sejumput judul buku Thomas L.Friedmand[ii] (2008): “Hot, Flat, and Crowded” – melanjutkan buku The World Is Flat (2005): bahwa kampung Global manusia kini tak menyediakan tempat bagi heroik, terkecuali punya akses “pasar”. Riwayat pembangkangan Mochtar Lubis menjadi berbeda jika dibandingkan dengan pembangkangan di awal abad 21 kini.
Kini, jurnalisme ialah ranah komunikasi yang telah terdiferensiasi. Pelbagai bidang kehidupan sosial, dan disiplin keilmuan sosial, telah ikut mengembangkannya. Hal ini, misalnya, dapat ditelusuri melalui penjelasan yang dinyatakan Brian McNair, lewat judul What Is Journalism? (dalam Burgh, ed., 2005: 42)[iii]: Bahwa Jurnalisme kini menjadi punya berbagai bentuk. Bagi segolongan orang, jurnalisme jadi seperangkat keterampilan teknis, semacam keahlian, yang harus dipelajari dan dipraktikkan, sesuai tradisi, selama berabad-abad. Bagi segolongan lain, jurnalisme ialah sebuah profesi yang luhur, yang memiliki seperangkat nilai-nilai etika tertentu, ketika menanggung-jawabi khususnya jalannya demokrasi. Bagi segolongan lain lagi, jurnalisme dianggap sebagai lahan kreatif, sebuah bentukan seni, yang memainkan imajinasi dan kepekaan estetik di dalam mengolah pekerjaan teknis, atau wawancara, secara ringkas.
“Fortunately,” simpul McNair: “journalism is big enough to contain all of those, and the diverse ambitions of those thousands of students now preparing for journalistic careers. They, and their audiences, will define in the end what journalism is going to be in the twenty-first century.
Pada esensinya, di dalam perkembangannya kini, McNair melihat jurnalisme sebagai ’mediated reality’ to highlight the fact. Jurnalisme, di sini, ialah menjadi agen manufaktur “sebuah kenyataan”, yang bukan “kenyataan” itu sendiri, yang tumbuh dari kebutuhan masyarakat akan “the information marketplace only after a number of production processes have been gone through”. Dalam hal inilah, jurnalisme dipenuhi warna “as a cultural commodity, an art form, an entertainment medium and a mode of political action.” Dan, bisa jadi, menurut McNair, “It can be more than one of those things at the same time.”
Maka itulah, kini riwayat pembangkangan wartawan pun telah jadi kisah audio visual. Riwayat seseorang menjelma jadi selebritas yang dipasarkan, Media, misalnya, telah mengomodikasi[iv] “seseorang” jadi sebuah “barang”. Massa kerap kehilangan pikiran apa yang pantas dikutip dari sebuah riwayat. Tokoh telah jadi “toko-pikiran”.
***
“If journalists have power in the constructing of public discourses, how are they taught to use this power?,” tanya Hugo de Burgh ketika mengantar bahasan pemunculan wartawan di berbagai negara di buku yang dieditnya, Making Journalists (2005: 1-21). Mengamati praktik dan profesionalisasi jurnalisme, yang direpresentasikan para wartawan, di banyak negara seperti Cina, Kamerun, India dan Itali, serta AS dan Inggris, ternyata memberi banyak model jurnalisme lintas-pengaruh, dalam proses “they are taught and learnt across the globe.” Perbedaan masyarakat, dari banyak kultur bangsa dan profesional, memperlihatkan adanya pengaruh pendidikan “makes” para wartawan, beserta produk pemberitaan mereka, dan implikasi etis yang memprosesnya, serta tidak sesederhana berbagai asumsi yang selama ini dikaitkan dengan globalisasi media.
Namun, yang jelas, kekuatan para wartawan ini akan dirasakan sekali, “when news reporting can lead to decisions on whether or not to go to war, we are all affected by the power of journalists and how they mediate our world.”
Dari sana, teralurlah realitas kesejarahan tertentu di masyarakat.
Realitas kesejarahan pers kemudian memunculkan fenomena “the journalist as pundit”. Brian McNair[v], ketika membahas fenomena Political Communcation dalam realitas masyarakat Amerika., dengan memakai pendekatan Nimmo and Combs (1992, p.6), menyebutkan istilah pundit kepada posisi wartawan yang melaksanakan kegiatan editorial, columns, feature acticles, dan berbagai variasi format opini lain, seperti: catatan harian dan kartun, yang kebanyakannya membawakan fungsi satirical. Pundit adalah sosok semacam tokoh masyarakat yang dihormati pandangan-pandangannya – yang diambil dari terminologi Sansakerta, pada awal abad 19, fase India modern – dan mengilustrasikan sosok “pencari ilmu (pencerahan) atau pengajar yang tidak hanya memiliki otoritas formal tapi juga memiliki statur figur politis”.
Bagi dunia pers Indonesia, kehadiran Mochtar Lubis mungkin bisa disamakan dengan Walter Lippmann di Amerika: yang mengaksentuasikan sosok ke-“pundit”-an bagi profesi jurnalisme pada awal abad 20. Ia melepas nilai kolektifitas kewartawanan sebagai sekumpulan pekerja yang bertugas hanya menjadi pelapor informasi kepada masyarakat. Namun, ia menjadi sosok yang integritas pandangannya, analisisnya, kepiawaian policy-nya, dan kemampuan khusus lainnya, sangat dihargai di forum-forum diskusi publik.
Dengan kata lain, ia menjadi wartawan-pundit, seseorang yang dapat mempengaruhi masyarakat karena otoritasnya di pelbagai peristiwa politik. Ia berperan sebagai sumber dari kerangka opini dan artikulasi opini, agenda-setting dan agenda-evaluasi. Ia memasuki peran tokoh bijak, yang tahu betul bagaimana mengamati dan mengomentari kejadian-kejadian politik, dan menurunkan keresahan masyarakat akan kerumitan persoalan politik yang tengah terjadi.
Dan dalam kaitan perkembangan jurnalisme, pemunculan ke-“pundit”-an jurnalisme ini terkait dengan motif “perjuangan atau jihad”, dan “pendedahan”. Ruang jurnalisme membuka peluang bagi aspek kewartawanan untuk mengembangkan orientasi jihad investigatifnya ke dalam ruang publik: masuk ke dalam political class, terlibat dalam proses pengalian informasi – yang kerap bersifat konfidensial – dan membuat tudingan-tudingan yang amat dihargai masyarakat. Semangat partisan memang kental dibawakan, namun lebih condong akhirnya untuk disebut pembawa aspirasi yang memiliki kredibilitas. Orientasi politik, baik ideologis maupun kepartaian, yang mewarnainya, tidak menghilangkan mereka sebagai pembawa suara “pencerahan” yang otoritatif.
Gambaran sosok wartawan “jihad” macam ini mengisinuasikan tampilan-tampilan tertentu. Ada nilai romantik idealisme jurnalis meraih budaya popularitas. Bukan hanya menampilkan pekerja di sebuah meja tapi juga memerikan kemampuan untuk melaksanakan sebuah keterampilan praktis. Dedikasinya tertuju kepada kepentingan publik, meskipun harus berhadapan dengan kekuasaan dan kejahatan politisi dan para pejabat tinggi yang dapat menghancurkan dan membunuh. Dengan kata lain, mengekpresikan unsur hati yang polos. Sifat heroiknya membawakan misi suci dan petualangan, yang sangat populer pada fase sebelum PD II, yang menyangkut hal-hal menggelikan atau naif. Konsepsi idealisasinya sebenarnya berada dalam proses “selalu ingin ditemukan” seperti awal sebuah fiksi memulai kisah. Dari hal itu pula tumbuh gairah petualangan, di dalam proses mencuri “kejadian-kejadian” atau keterkenalan.
[i] Eaman, Ross (2009). Historical Dictionary of Journalism. Plymouth, UK: The Scarecrow Press, Inc.
[ii] Friedman, Thomas L. (2008). Hot, Flat, and Crowded: WHY WE NEED A GREEN REVOLUTION AND HOW IT CAN RENEW AMERICA. 18 West 18th Street, New York 10011: Farrar, Straus and Giroux.
[iii] Burgh, Hugo de (ed.). (2005). Making Journalists. 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon OX14 4RN: Routledge
[iv] Lihat Vincent Mosco (1996). The Political Economy of Communications: komodifikasi merupakan upaya mengubah data dan fakta menjadi sistem makna yang dipasarkan.
[v] McNair, Brian. (1999). An Introduction to Political Communication, 2nd edition. London, Routledge (Firm)