Rabu, 02 April 2014

Jurnalisme Naratif-Investigatif "Saksi Kunci"

Setiap berita membawa belati. Tapi, tidak setiap belati menghunus fakta. Berbekal niat, wartawan mencari fakta. Juga, sumber, dari mana fakta dapat menapakan jejak. Pada sisi inilah, setiap wartawan menghunus belati.

Kepada siapa ?

Hal ini yang punya daya gugat pada jurnalisme. To who ialah yang kerap diperbincangkan di dalam literatur, khususnya. Berbagai teori komunikologi pun kerap menyambarnya. Dan, meletakkannya sedemikian rupa, pada tujuan akhir komunikasi “via media” massa mengarahkan tujuan: entah itu efek (linear), entah itu pencarian kesamaan (interpretif).

Jurnalisme digugah oleh masyarakat untuk berbuat. Untuk itu, jurnalisme diberi belati. Disuruh menghunus ketajaman senjata yang dapat menembus tubuh “penyakit” masyarakat. Orang perlu diyakini bahwa tidak ada persoalan yang meruyak yang tak bisa diselesaikan. Jurnalisme menjadi salah alat bantu. Sekali lagi, alat bantu! 

Bukan satu-satunya alat. Tapi alat bantu menghalangi penyakit dapat menyebar di masyarakat. Bukan alat mengadili, dan memutuskan, bersalah di depan hukum. Jurnalisme hanyalah memutuskan bersalah di depan keadilan. Artinya, setiap orang masih diberi ancang-ancang untuk menyoal kebersalahan seseorang atau pihak tertentu. Arti lainnya, jurnalisme tidak perlu ditakuti, atau dihalangi daya kerjanya. Wartawan tak perlu diminta minggir dari amatannya terhadap sebuah persoalan masyarakat.

Investigatif Saksi Kunci

Dari situlah, saya melihat buku Metta Saksi Kunci, Kisah Nyata Perburuan Vincent, Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri Group, Investigasi Skandal Pajak Terbesar di Indonesia (2013), ini punya dua sisi: liputan investigatif, dan laporan Naratif (Jurnalisme Sastra). Buku Metta  membawa belati. Ia hunus belati kepada pihak dan orang yang “melanggar” keadilan. Sebuah perusahaan besar di Indonesia, tokoh pengusaha besar di ukuran pemilikian dan kekayaan (di lintasan internasional), kelembagaan negara yang “memajak” rakyat Indonesia, kelembagaan pengadilan dengan para hakim dan hakim agungnya, kelembagaan polisi dengan berbagai pangkat dan oknum-oknumnya, kelembagaan wartawan di mana Metta  meletakkan nasib kerja keprofesionalannya  bahkan keselamatan hidup keluarganya, kelembagaan akademis dengan sosok keilmuannya dan ketidak-akademisannya, serta berbagai pihak yang terlibat di urusan “pengemplangan” pajak terbesar di Indonesia:  semuanya diacungkan belati karena pelanggaran yang dilakukannya. 

“Apa tujuan Metta  menulis buku ini,” tanya istri saya, mendadak (saat saya mengetik) dengan lugunya – ketika melihat kover buku, dan tampaknya juga ketebalan bukunya.

Meta ingin melaporkan kerja jurnalisme sebagai kisah suci, jawab saya dengan gagah. Metta  tak mau pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak yang terlibat di urusan “pajak-memajak” ini hilang ditelan bumi. Metta  ialah wartawan di buku ini yang, dengan tanda seru, berteriak “ketidakadilan” harus dilaporkan. Ketidakadilan mesti didokumentasikan. Metta  ingin menggariskan pena, dengan tinta emas, pada halaman kosong Indonesia dengan buku kewartawanan investigatif.

Saya merasa gagah setelah membaca buku ini. Karena, di buku ini, saya disuruh tegak di hadapan persekongkolan, upaya busuk, kesedihan ketertindasan, yang diniatkan dan dipraktikkan secara sengaja, rapih, dan berakhir sia-sia. 

Dan, buku ini bukan sekadar memberi tahu bahwa kejahatan akan berakhir sia-sia. Tidak hanya memancangkan kisah-kisah kebenaran, dengan “K” besar, seperti dongeng-dongeng Holywood. Buku ini, seperti ditulis Janet Steele, memang membawa pembaca terus berkutat dengan tuturan naratif penulisnya. Kita sudah tahu di ujung kisah ada kelegaan karena penjahat terjungkal, dan pembela keadilan berseru Alhamdulillah. Tapi, secara Naratif, penulisnya terus mengajak pembaca mengikuti apa yang dicatatnya. Apa yang dikerjakannya, sebagai wartawan, saat menguliti satu demi satu fakta, helai demi helai bukti, lembar demi lembar dokumen, file demi file data – yang berjibun, tak beraturan awalnya, tak memberi logika “hipotesis” yang pasti.

Naratif Saksi Kunci

Literary Journalism, yang berkembang menjadi Naratif, dijinjing Metta  dari awal sampai ujung halaman pengisahan. Laporan fakta dikisahkan dalam fragmen-fragmen yang tertata bagai catatan seseorang yang sedang terbuai oleh keasikannya sendiri. Penulis seolah tak memedulikan orang di sekitarnya tengah menanyakan, dari mana ente dapet bahan, dari siape elo bikin ni tulisan, ape sih mau lo …..

Saya merasa penulis buku ini cuma bergeming saat di Prakata, mengucapkan terima kasih kepada, selain istrinya, ialah pada “pengorbanan anak saya….” Metta  merasa bersalah, sekaligus berterima kasih, tampaknya, “untuk kehilangan sebagian waktu kebersamaan dengan ayahnya yang tersita untuk penulisan buku ini ….” 

Mark Kramer (2000) menulis Narrative Journalism Comes of Age: Some find it hard to accept. Others embrace it. Jurnalisme naratif, menurut Kramer, masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction

Para jurnalis, pada dekade 1990-an, tertarik oleh gaya narrative (Naratif) karena kemungkinan “suara” realitas yang dapat diangkat secara lebih penuh. Lewat narrative, jurnalis jadi punya narasi peristiwa yang lebih masuk ke dalam soal publik. Narasi pemberitaan jadi luwes, lincah, dan larut ke dalam realitas “individu” publik. Seperti fiksi menorehkan kedalaman cerita, narrative journalism coba menjangkau peristiwa-berita sampai ke mulut publik itu sendiri. 

Narrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil perkawinan silang antara keterampilan mengisahkan cerita dengan kemampuan membuat drama, seusai mengobservasi orang, tempat, dan kejadian”, jelas Robert Vare (2000) ketika menulis The State of Narrative Nonfiction Writing.  Teknik jurnalisme ini mengontrol kekuatan fakta secara naratif. Amat mementingkan kehadiran suara (voice) publik. Yang dituturkannya, menghubungkan antara pelbagai peristiwa dengan pemaknaan dan emosinya

Di Indonesia, hal itu dilakukan Bondan Winarno (1997). Bondan melaporkan sebuah pertambangan di Kalimantan memiliki kisah-kisah misterius, dalam Bre-X, Sebungkah Emas di Kaki Pelangi.[1] Investigatif Bondan dipaparkan dengan gaya Naratif, berbagai fakta dilaporkan dengan gaya penulisan kawin-silang jurnalisme dan sastra, Pelbagai fakta yang didapatnya, dijadikan peristiwa, dituturkan maknanya, dan dicomot emosinya. Gaya Bondan panjang, merengkuh amatan banyak sisi, dan melebarkan uraian pada detll-detil. Bondan, misalnya, rajin mencatat hal-hal di luar kasus yang hendak diangkatnya, dengan amatan dan gaya naratifnya. Contoh:

SUNGAI MUSANG di masa lalu adalah surga bagi masyarakat Dayak. Para pendatang pun mulai bermunculan di sekitar Sungai Musang itu setelah mendengar adanya rezeki emas.  Pada  tahun-tahun  pertama  pendulang  di  kawasan  itu,  masyarakat  Dayak mengadakan  pesta  adat  ngadet setiap  tahun  sebagai  upacara  penghormatan  kepada “penguasa”  sungai.  Mereka  mempersembahkan  kurban  dengan  memotong  ayam dan babi. Di antara pendulang tradisional ini juga berlaku bagi ketentuan yang bersifat magis. Misalnya, emas atau intan yang baru saja ditemukan tak boleh disimpan di dalam kantung pakaian,  melainkan  harus  dimasukkan  ke  dalam  mulut.  Mereka  juga  tak  boleh sembarangan menyebut  emas  dan intan.  Intan,  misalnya,  disebut sebagai  galuh (putri cantik). Bila orang tak mampu mengendalikan emosi ketika menemukan benda berharga, dan menyebut  benda temuannya  secara sembarangan,  benda itu bisa berubah menjadi batu biasa.
Winarno (1997: 14), Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Langit,

Naratif Metta  mengocok data-data investigatif ke dalam kisah-kisah pendek, tapi dengan daya alir yang kuat. Berbagai data “keras” ditaklukkan Metta  menjadi catatan “cerita pendek” yang menolak disebut “straight news”: karena panjang isi berita dan penataan isinya. Naratif Metta  tak mau juga dikelompokkan sebagai feature news: karena sengatan human interest Metta  yang tak mau hanya menyentuh detil-detil peristiwa biasa, melainkan terus memokus pada hipotesis investigatifnya – pada tiap fragmen laporannya, dalam keseluruhan paparan naratifnya. Hal itu terlihat ketika Metta  melaporkan “fakta-fakta” perasaan sedih Vincent, berikut ini:

“Si sulung (10 tahun), si tengah (8 tahun), dan si bungsu (6 tahun). Wajah tiga bocah buah hatinya itu terus membayang di benak Vincent. Perbincangan kami di kamar hotel selepas makan siang di Shang Palace, langsung tersendat, begitu ia teringat wajah-wajah lucu mereka.

“….

“Vincent tak sanggup melanjutkan kata-kata. Suaranya tercekat. Bibirnya gemetar. Ia terus mengerjapkan mata menahan air mata yang hampir tumpah. Tapi, upayanya tak berhasil.

“Dari kedua bola matanya, bulir air mata mengalir deras ke pipinya yang cekung. Pertahanannya bobol. Ia hanya bisa menunduk lesu, berusaha lari tak menatap saya. “…maaf, saya sangat sedih,” ujarnya lirih.
Dharmasaputra (2013: 54), dalam “11 Vincent”

Naratif Metta  juga emoh berbau depth reporting: karena tidak berhenti di ulasan penjelasan, setelah uraian “apa, dimana, dan kapan”, akan tetapi terus menghunus persoalan ke dalam “siapa” salah “siapa” benar, “bagaimana dan mengapa” salah atau benar. Laporan Depth hanya menjelaskan peristiwa, atau menguraikan pelanggaran yang telah diketahui publik, dengan mendalam tapi tidak membongkar sampai tuntas dan tegas “siapa, bagaimana, mengapa”-nya.

Hal itu, misalnya, terlihat ketika Metta  melaporkan proses penjemputan Vincent dari Singapura, menuju Indonesia, yang dipenuhi dengan ketegangan: perebutan siapa mendahului siapa, dengan cara “mengapa dan bagaimana”, antara pihak Komisi Pemberantasan Korupsi versus pihak yang hendak “melenyapkan” Vincent. Contoh:

“MR.GOH. Nama asing itu terus membayang di kepala Vincent. Jantungnya berdegup kencang, ketika sekitar pukul 20.30 bel kamarnya berbunyi. Tak mau gegabah, diintipnya sosok di luar sana dari lubang kaca kecil di bagian atas pintu. 


Rasa was-wasnya langsung hilang ketika ternyata yang berdiri di balik pintu adalah Pak S. yang baru saja tiba dari Batam. “Silakan masuk”, ujar Vincent membukakan pintu. Ia lantas menceritakan percakapannya dengan Mr.Goh yang mengaku sebagai orang sewaan Sukanto Tanoto (pemilik Asian Agri, red). 


Pak S. menuturkan berkaitan dengan itulah ia bergegas datang ke Singapura. Perintah dating langsung dari pemimpin KPK di Jakarta untuk membawa Vincent pulang ke Indonesia.

Koordinasi ketat telah dilakukan dengan pihak intelejen, Seorang aparat dari lembaga telik sandi Negara itu kini sedang dalam perjalanan menuju hotel Meritus Negara. Kabar melegakan ini segera disampaikan Vincent kepada saya dan Ferry, adiknya, via e-mail….
Dharmasaputra (2013), dalam “Operasi Intelejen” (hlm.76)

Cuplikan pendek tersebut menunjukkan dagdigdug Vincent ketika hendak dijemput – dan dinaratifkan dengan cara “investigatif” dalam banyak subbab berikutnya di buku Saksi Kunci ini, yang berbeda dengan gaya dan isi laporan Depth

Pada titik tertentu, saya sepakat bila Naratif Metta  meng-copy paste gaya immersion reporting-nya Truman Capote dalam "In Cold Blood" yang dingin, dalam merekonstruksi kembali fakta, secara berbeda. Pada Capote, ia kerap menyediakan adegan, dialog, pelbagai perspektif tokoh beritanya, serta detil-detil, dalam reka kisah faktualnya, seperti ini:

Ketika Dick berdiri dan mulai bergaya – dengan bertopang pada kedua tangannya ia mengangkat kedua kakinya sehingga tegak lurus, untuk menarik perhatian empat wanita di bawah payung merah muda – Perry menyibukkan dirinya dengan membawa Miami Herald. Tiba-tiba sebuah berita di halaman dalam menyita seluruh perhatiannya.


Sebuah berita tentang pembunuhan sebuah keluarga di Florida, Tuan dan Nyonya Clifford Walker, putra mereka yang berusia empat tahun dan putri mereka yang berusia dua tahun. Masing-masing korban ditembak di kepala dengan senjata api kaliber 22. Pembunuhan yang tidak meninggalkan isyarat dan motif apa-apa itu terjadi Sabtu malam, tanggal 19 Desember di rumah Walker, yang dikelilingi peternakkan sapi, tidak jauh dari Tallahassee.

Perry mengganggu Dick dengan membaca berita itu keras-keras dan bertanya, “Kita di mana Sabtu malam yang lalu?”

“Tallahessee?”

“Itu yang kutanyakan”.

Sebagai wartawan Indonesia, di fase Reformatif, Naratif Metta  telah diisi dengan banyak pengaruh, persingungan, penelusuran, dan gaya menulis yang berbasis data, angka, dokumen, dan hipotesis laporan – yang berada dalam amatan linear, terus tertuju pada awal dan akhir fakta-fakta yang kuat dan tajam. 

Pelajaran dari Naratif panjang Bondan dan Naratif dingin Capote mengalurkan kisah, tampaknya, diejawantahkan Metta  ke dalam gaya Naratif TEMPO tahun 2000-an, Gaya seperti ini memang khas TEMPO. Feature-feature TEMPO kini, sejak 1996 terbit kembali usai dibredel, memakai aroma human interest yang berbeda dengan gaya 1970-an, di mana para wartawannya banyak yang nyambil jadi sastrawan di media sastra saat itu. Ada keringkasan. Ada pemilihan kata dan kalimat yang padu, ketat, dingin, dibatasi ruang dan halaman. Gaya slank Mahbub Djunaedy, misal, sudah jarang ditemui. Gaya prosais Goenawan Mohamad diubah bentuk. Pilihan fakta yang tak terduga, unik, penuh sisi kemanusiaan dan menyiratkan symbol yang luas, dan disajikan gaya sastra yang kuat: kini berganti. 

Maka itu, saya melihat Naratif Metta  di buku ini dalam pengaruh “Capote” dan TEMPO. Saya juga merasakan “belati” investigatif Bondan, yang melaporkan kasus sampai tuntas, dilanjutkan Metta .
Dan, tentu saja, belati investigatif Metta  yang punya daya jelajah, keberanian, ke-khusuk-an, serta niat teguh: yang orisinal, membongkar, tapi sekaligus juga “kesepian”. Metta  seolah sendirian di rumah pers Indonesia ketika membukukan hasil investigasinya, yang jarang dilakukan wartawan, dalam bentuk buku seperti Saksi Kunci. ***




[1] Winarno, Bondan ,1997, Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Langit, Jakarta : Penerbit Inspirasi Indonesia

Jumat, 26 Agustus 2011

Jurnalisme, Politik, Indonesia: dalam Memoar Biografis Mochtar Lubis



David T.Hill kembali meneruskan cerita pers dan politik bagai dua saudara kembar. Masing-masing selalu ingin bergandegan tangan ketika, khususnya, jalan-jalan di sebuah negara atau bangsa. Jika yang satu salah, yang satu akan teriak. Bisa jadi, saat yang satu kepingin iseng, mencolek saudaranya, maka, yang dicolek akan langsung bangun berdiri, dan melotot.

Tapi, dalam buku terbarunya, Jurnalisme dan Politik di Indonesia (2011, YOI, Jakarta), hal itu diangkat Hill dalam kaitan memoar biografis seorang tokoh pers Indonesia: Mochtar Lubis. Tokoh yang tak mungkin bisa di-delete jika orang bicara pers dan politik di Indonesia. Sosoknya hadir begitu kuat di dalam realitas keindonesiaan: dalam sikap dan pemikiran dan tindakannya. Saking kuatnya karakter “pers campur politiknya”, ia pun dijuluki Kepala Granit.

Buku ini memang meriwayatkan hidup seorang pria, yang memiliki sikap dan tindakan “pers campur politik” yang sekeras batu granit. Seorang pria pembangkang. Pria yang tak mau bertekuk lutut pada yang salah. Dan dari pembakangannya, ia berbagi “kebenaran” dengan wartawan lain, pengarang lain,bahkan budaya lain dan negeri-negeri lain.

Tapi, dari pembangkangnya pula, menyeruak kisah Indonesia pada paruh kedua abad duapuluh. “Ketika rakyat Nusantara menjadi bangsa merdeka....ketika praktik jurnalisme kontemporer mengambil bentuk...,” tulis Hill (hlm14). Ketika media cetak dan tokoh-tokohnya tampil: mengendalikan kehidupan politik, pendidikan, kebudayaan, dan memberi arti apa itu Indonesia. Sebuah era: “ketika para pemimpin redaksi media cetak yang berkepribadian kuat menguasai industri dan berbicara langsung kepada pimpinan bangsa, atau ... beradu pendapat dengan para politisi ...”

Pikiran dan tindakan “pers campur politiknya” tercatat sampai jauh. Misal, dalam sejarah pers Indonesia. Ross Eaman[i] (2009: 171-172), dalam Historical Dictionary of Journalism, mencatatnya. Eaman menggambarkan bagaimana pers di Indonesia awalnya digerakkan oleh European news. Pada akhir abad 18, Belanda membuat koran di Indonesia. Setelah mencatat Bataviasche Courant (1816), Medan Prijaji (1907), komunitas Tionghoa-Indonesia mem-binis-kan pers – dengan bahasa Melayu-Betawi (Batavian Malay), lalu masa penjajahan Jepang (1942), dan pemunculan pers nasionalis underground press, Eaman menyelipkan nama Mochtar Lubis. “Mochtar Lubis, editor of Indonesia Raya (1949–74), was jailed by both the Sukarno and Suharto governments,” tulis Eaman, dari School of Journalism and Communication at Carleton University di Kanada.

Nama Mochtar Lubis terkait dengan sejarah pers Indonesia, yang sesudah Perang Kemerdekaan, berada dalam cengkraman kendali pemerintah. Dan, cengkeraman itu mengendur, ketika Orde Baru runtuh : “Only since the resignation of Suharto in 1998 has the press begun to acquire a measure of freedom, leading to a rapid growth in news media.”

Dan, perubahan pun terjadi. Dan, riwayat pembangkangan pun kini menjadi tak seheroik lagi. Dan, kisah pemimpin redaksi pun berubah jadi konsumsi komoditas. Seperti menyambung dengan sejumput judul buku Thomas L.Friedmand[ii] (2008): “Hot, Flat, and Crowded” – melanjutkan buku The World Is Flat (2005): bahwa kampung Global manusia kini tak menyediakan tempat bagi heroik, terkecuali punya akses “pasar”. Riwayat pembangkangan Mochtar Lubis menjadi berbeda jika dibandingkan dengan pembangkangan di awal abad 21 kini.

Kini, jurnalisme ialah ranah komunikasi yang telah terdiferensiasi. Pelbagai bidang kehidupan sosial, dan disiplin keilmuan sosial, telah ikut mengembangkannya. Hal ini, misalnya, dapat ditelusuri melalui penjelasan yang dinyatakan Brian McNair, lewat judul What Is Journalism? (dalam Burgh, ed., 2005: 42)[iii]: Bahwa Jurnalisme kini menjadi punya berbagai bentuk. Bagi segolongan orang, jurnalisme jadi seperangkat keterampilan teknis, semacam keahlian, yang harus dipelajari dan dipraktikkan, sesuai tradisi, selama berabad-abad. Bagi segolongan lain, jurnalisme ialah sebuah profesi yang luhur, yang memiliki seperangkat nilai-nilai etika tertentu, ketika menanggung-jawabi khususnya jalannya demokrasi. Bagi segolongan lain lagi, jurnalisme dianggap sebagai lahan kreatif, sebuah bentukan seni, yang memainkan imajinasi dan kepekaan estetik di dalam mengolah pekerjaan teknis, atau wawancara, secara ringkas.

Fortunately,” simpul McNair: journalism is big enough to contain all of those, and the diverse ambitions of those thousands of students now preparing for journalistic careers. They, and their audiences, will define in the end what journalism is going to be in the twenty-first century.

Pada esensinya, di dalam perkembangannya kini, McNair melihat jurnalisme sebagai ’mediated reality’ to highlight the fact. Jurnalisme, di sini, ialah menjadi agen manufaktur “sebuah kenyataan”, yang bukan “kenyataan” itu sendiri, yang tumbuh dari kebutuhan masyarakat akan “the information marketplace only after a number of production processes have been gone through”. Dalam hal inilah, jurnalisme dipenuhi warna “as a cultural commodity, an art form, an entertainment medium and a mode of political action.” Dan, bisa jadi, menurut McNair, “It can be more than one of those things at the same time.”

Maka itulah, kini riwayat pembangkangan wartawan pun telah jadi kisah audio visual. Riwayat seseorang menjelma jadi selebritas yang dipasarkan, Media, misalnya, telah mengomodikasi[iv] “seseorang” jadi sebuah “barang”. Massa kerap kehilangan pikiran apa yang pantas dikutip dari sebuah riwayat. Tokoh telah jadi “toko-pikiran”.

***

If journalists have power in the constructing of public discourses, how are they taught to use this power?,” tanya Hugo de Burgh ketika mengantar bahasan pemunculan wartawan di berbagai negara di buku yang dieditnya, Making Journalists (2005: 1-21). Mengamati praktik dan profesionalisasi jurnalisme, yang direpresentasikan para wartawan, di banyak negara seperti Cina, Kamerun, India dan Itali, serta AS dan Inggris, ternyata memberi banyak model jurnalisme lintas-pengaruh, dalam proses “they are taught and learnt across the globe.” Perbedaan masyarakat, dari banyak kultur bangsa dan profesional, memperlihatkan adanya pengaruh pendidikan “makes” para wartawan, beserta produk pemberitaan mereka, dan implikasi etis yang memprosesnya, serta tidak sesederhana berbagai asumsi yang selama ini dikaitkan dengan globalisasi media.

Namun, yang jelas, kekuatan para wartawan ini akan dirasakan sekali, “when news reporting can lead to decisions on whether or not to go to war, we are all affected by the power of journalists and how they mediate our world.

Dari sana, teralurlah realitas kesejarahan tertentu di masyarakat.

Realitas kesejarahan pers kemudian memunculkan fenomena “the journalist as pundit”. Brian McNair[v], ketika membahas fenomena Political Communcation dalam realitas masyarakat Amerika., dengan memakai pendekatan Nimmo and Combs (1992, p.6), menyebutkan istilah pundit kepada posisi wartawan yang melaksanakan kegiatan editorial, columns, feature acticles, dan berbagai variasi format opini lain, seperti: catatan harian dan kartun, yang kebanyakannya membawakan fungsi satirical. Pundit adalah sosok semacam tokoh masyarakat yang dihormati pandangan-pandangannya – yang diambil dari terminologi Sansakerta, pada awal abad 19, fase India modern – dan mengilustrasikan sosok “pencari ilmu (pencerahan) atau pengajar yang tidak hanya memiliki otoritas formal tapi juga memiliki statur figur politis”.

Bagi dunia pers Indonesia, kehadiran Mochtar Lubis mungkin bisa disamakan dengan Walter Lippmann di Amerika: yang mengaksentuasikan sosok ke-“pundit”-an bagi profesi jurnalisme pada awal abad 20. Ia melepas nilai kolektifitas kewartawanan sebagai sekumpulan pekerja yang bertugas hanya menjadi pelapor informasi kepada masyarakat. Namun, ia menjadi sosok yang integritas pandangannya, analisisnya, kepiawaian policy-nya, dan kemampuan khusus lainnya, sangat dihargai di forum-forum diskusi publik.

Dengan kata lain, ia menjadi wartawan-pundit, seseorang yang dapat mempengaruhi masyarakat karena otoritasnya di pelbagai peristiwa politik. Ia berperan sebagai sumber dari kerangka opini dan artikulasi opini, agenda-setting dan agenda-evaluasi. Ia memasuki peran tokoh bijak, yang tahu betul bagaimana mengamati dan mengomentari kejadian-kejadian politik, dan menurunkan keresahan masyarakat akan kerumitan persoalan politik yang tengah terjadi.

Dan dalam kaitan perkembangan jurnalisme, pemunculan ke-“pundit”-an jurnalisme ini terkait dengan motif “perjuangan atau jihad”, dan “pendedahan”. Ruang jurnalisme membuka peluang bagi aspek kewartawanan untuk mengembangkan orientasi jihad investigatifnya ke dalam ruang publik: masuk ke dalam political class, terlibat dalam proses pengalian informasi – yang kerap bersifat konfidensial – dan membuat tudingan-tudingan yang amat dihargai masyarakat. Semangat partisan memang kental dibawakan, namun lebih condong akhirnya untuk disebut pembawa aspirasi yang memiliki kredibilitas. Orientasi politik, baik ideologis maupun kepartaian, yang mewarnainya, tidak menghilangkan mereka sebagai pembawa suara “pencerahan” yang otoritatif.

Gambaran sosok wartawan “jihad” macam ini mengisinuasikan tampilan-tampilan tertentu. Ada nilai romantik idealisme jurnalis meraih budaya popularitas. Bukan hanya menampilkan pekerja di sebuah meja tapi juga memerikan kemampuan untuk melaksanakan sebuah keterampilan praktis. Dedikasinya tertuju kepada kepentingan publik, meskipun harus berhadapan dengan kekuasaan dan kejahatan politisi dan para pejabat tinggi yang dapat menghancurkan dan membunuh. Dengan kata lain, mengekpresikan unsur hati yang polos. Sifat heroiknya membawakan misi suci dan petualangan, yang sangat populer pada fase sebelum PD II, yang menyangkut hal-hal menggelikan atau naif. Konsepsi idealisasinya sebenarnya berada dalam proses “selalu ingin ditemukan” seperti awal sebuah fiksi memulai kisah. Dari hal itu pula tumbuh gairah petualangan, di dalam proses mencuri “kejadian-kejadian” atau keterkenalan.

Pada sisi ini, pekerjaan jurnalisme mempunyai akses kepada realitas politik masyarakat.****

Daftar Rujukan

[i] Eaman, Ross (2009). Historical Dictionary of Journalism. Plymouth, UK: The Scarecrow Press, Inc.

[ii] Friedman, Thomas L. (2008). Hot, Flat, and Crowded: WHY WE NEED A GREEN REVOLUTION AND HOW IT CAN RENEW AMERICA. 18 West 18th Street, New York 10011: Farrar, Straus and Giroux.

[iii] Burgh, Hugo de (ed.). (2005). Making Journalists. 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon OX14 4RN: Routledge

[iv] Lihat Vincent Mosco (1996). The Political Economy of Communications: komodifikasi merupakan upaya mengubah data dan fakta menjadi sistem makna yang dipasarkan.

[v] McNair, Brian. (1999). An Introduction to Political Communication, 2nd edition. London, Routledge (Firm)