Setiap berita membawa belati. Tapi, tidak setiap belati menghunus fakta. Berbekal niat, wartawan mencari fakta. Juga, sumber, dari mana fakta dapat menapakan jejak. Pada sisi inilah, setiap wartawan menghunus belati.
Kepada siapa ?
Hal ini yang punya daya gugat pada jurnalisme. To who ialah yang kerap diperbincangkan di dalam literatur, khususnya. Berbagai teori komunikologi pun kerap menyambarnya. Dan, meletakkannya sedemikian rupa, pada tujuan akhir komunikasi “via media” massa mengarahkan tujuan: entah itu efek (linear), entah itu pencarian kesamaan (interpretif).
Jurnalisme digugah oleh masyarakat untuk berbuat.
Untuk itu, jurnalisme diberi belati. Disuruh menghunus ketajaman senjata yang
dapat menembus tubuh “penyakit” masyarakat. Orang perlu diyakini bahwa tidak
ada persoalan yang meruyak yang tak bisa diselesaikan. Jurnalisme menjadi salah
alat bantu. Sekali lagi, alat bantu!
Bukan satu-satunya alat. Tapi alat bantu menghalangi
penyakit dapat menyebar di masyarakat. Bukan alat mengadili, dan memutuskan,
bersalah di depan hukum. Jurnalisme hanyalah memutuskan bersalah di depan
keadilan. Artinya, setiap orang masih diberi ancang-ancang untuk menyoal
kebersalahan seseorang atau pihak tertentu. Arti lainnya, jurnalisme tidak
perlu ditakuti, atau dihalangi daya kerjanya. Wartawan tak perlu diminta
minggir dari amatannya terhadap sebuah persoalan masyarakat.
Investigatif Saksi Kunci
Dari situlah, saya melihat buku Metta Saksi
Kunci, Kisah Nyata Perburuan Vincent, Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri
Group, Investigasi Skandal Pajak Terbesar di Indonesia (2013), ini
punya dua sisi: liputan investigatif, dan laporan Naratif (Jurnalisme Sastra).
Buku Metta membawa belati. Ia hunus
belati kepada pihak dan orang yang “melanggar” keadilan. Sebuah perusahaan
besar di Indonesia, tokoh pengusaha besar di ukuran pemilikian dan kekayaan (di
lintasan internasional), kelembagaan negara yang “memajak” rakyat Indonesia,
kelembagaan pengadilan dengan para hakim dan hakim agungnya, kelembagaan polisi
dengan berbagai pangkat dan oknum-oknumnya, kelembagaan wartawan di mana Metta meletakkan nasib kerja keprofesionalannya bahkan keselamatan hidup keluarganya,
kelembagaan akademis dengan sosok keilmuannya dan ketidak-akademisannya, serta
berbagai pihak yang terlibat di urusan “pengemplangan” pajak terbesar di
Indonesia: semuanya diacungkan belati
karena pelanggaran yang dilakukannya.
“Apa tujuan Metta menulis buku ini,” tanya istri saya, mendadak
(saat saya mengetik) dengan lugunya – ketika melihat kover buku, dan tampaknya
juga ketebalan bukunya.
Meta ingin melaporkan kerja jurnalisme sebagai
kisah suci, jawab saya dengan gagah. Metta tak mau pelanggaran yang dilakukan berbagai
pihak yang terlibat di urusan “pajak-memajak” ini hilang ditelan bumi. Metta ialah wartawan di buku ini yang, dengan tanda
seru, berteriak “ketidakadilan” harus dilaporkan. Ketidakadilan mesti
didokumentasikan. Metta ingin
menggariskan pena, dengan tinta emas, pada halaman kosong Indonesia dengan buku
kewartawanan investigatif.
Saya merasa gagah setelah membaca buku ini.
Karena, di buku ini, saya disuruh tegak di hadapan persekongkolan, upaya busuk,
kesedihan ketertindasan, yang diniatkan dan dipraktikkan secara sengaja, rapih,
dan berakhir sia-sia.
Dan, buku ini bukan sekadar memberi tahu bahwa
kejahatan akan berakhir sia-sia. Tidak hanya memancangkan kisah-kisah
kebenaran, dengan “K” besar, seperti dongeng-dongeng Holywood. Buku ini,
seperti ditulis Janet Steele, memang membawa pembaca terus berkutat dengan
tuturan naratif penulisnya. Kita sudah tahu di ujung kisah ada kelegaan karena
penjahat terjungkal, dan pembela keadilan berseru Alhamdulillah. Tapi,
secara Naratif, penulisnya terus mengajak pembaca mengikuti apa yang dicatatnya.
Apa yang dikerjakannya, sebagai wartawan, saat menguliti satu demi satu fakta,
helai demi helai bukti, lembar demi lembar dokumen, file demi file
data – yang berjibun, tak beraturan awalnya, tak memberi logika “hipotesis”
yang pasti.
Naratif Saksi Kunci
Literary Journalism, yang berkembang menjadi
Naratif, dijinjing Metta dari awal
sampai ujung halaman pengisahan. Laporan fakta dikisahkan dalam fragmen-fragmen
yang tertata bagai catatan seseorang yang sedang terbuai oleh keasikannya
sendiri. Penulis seolah tak memedulikan orang di sekitarnya tengah menanyakan,
dari mana ente dapet bahan, dari siape elo bikin ni tulisan,
ape sih mau lo …..
Saya merasa penulis buku ini cuma bergeming saat
di Prakata, mengucapkan terima kasih kepada, selain istrinya, ialah pada
“pengorbanan anak saya….” Metta merasa bersalah, sekaligus berterima kasih,
tampaknya, “untuk kehilangan sebagian waktu kebersamaan dengan ayahnya yang
tersita untuk penulisan buku ini ….”
Mark Kramer (2000) menulis Narrative Journalism
Comes of Age: Some find it hard to accept. Others embrace it. Jurnalisme
naratif, menurut Kramer, masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction.
Para jurnalis, pada dekade 1990-an, tertarik oleh
gaya narrative (Naratif) karena kemungkinan “suara” realitas yang dapat
diangkat secara lebih penuh. Lewat narrative, jurnalis jadi punya narasi
peristiwa yang lebih masuk ke dalam soal publik. Narasi pemberitaan jadi luwes,
lincah, dan larut ke dalam realitas “individu” publik. Seperti fiksi menorehkan
kedalaman cerita, narrative journalism coba menjangkau peristiwa-berita
sampai ke mulut publik itu sendiri.
“Narrative journalism merupakan bentuk
cangkokan, hasil perkawinan silang antara keterampilan mengisahkan cerita
dengan kemampuan membuat drama, seusai mengobservasi orang, tempat, dan
kejadian”, jelas Robert Vare (2000) ketika menulis The State of Narrative
Nonfiction Writing. Teknik
jurnalisme ini mengontrol kekuatan fakta secara naratif. Amat mementingkan
kehadiran suara (voice) publik. Yang dituturkannya, menghubungkan antara
pelbagai peristiwa dengan pemaknaan dan emosinya
Di Indonesia, hal itu
dilakukan Bondan Winarno (1997). Bondan melaporkan sebuah pertambangan di
Kalimantan memiliki kisah-kisah misterius, dalam Bre-X, Sebungkah
Emas di Kaki Pelangi.[1]
Investigatif Bondan dipaparkan dengan gaya Naratif, berbagai fakta dilaporkan
dengan gaya penulisan kawin-silang jurnalisme dan sastra, Pelbagai fakta yang
didapatnya, dijadikan peristiwa, dituturkan maknanya, dan dicomot emosinya.
Gaya Bondan panjang, merengkuh amatan banyak sisi, dan melebarkan uraian pada
detll-detil. Bondan, misalnya, rajin mencatat hal-hal di luar kasus yang hendak
diangkatnya, dengan amatan dan gaya naratifnya. Contoh:
SUNGAI MUSANG di masa lalu adalah surga bagi masyarakat Dayak.
Para pendatang pun mulai bermunculan di sekitar Sungai Musang itu setelah
mendengar adanya rezeki emas. Pada tahun-tahun
pertama pendulang di
kawasan itu, masyarakat
Dayak mengadakan pesta adat
ngadet setiap tahun sebagai
upacara penghormatan kepada “penguasa” sungai.
Mereka mempersembahkan kurban
dengan memotong ayam dan babi. Di antara pendulang
tradisional ini juga berlaku bagi ketentuan yang bersifat magis. Misalnya, emas
atau intan yang baru saja ditemukan tak boleh disimpan di dalam kantung
pakaian, melainkan harus
dimasukkan ke dalam
mulut. Mereka juga
tak boleh sembarangan menyebut emas
dan intan. Intan, misalnya,
disebut sebagai galuh (putri
cantik). Bila orang tak mampu mengendalikan emosi ketika menemukan benda
berharga, dan menyebut benda
temuannya secara sembarangan, benda itu bisa berubah menjadi batu biasa.
Winarno (1997: 14), Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Langit,
Naratif Metta mengocok data-data investigatif ke dalam
kisah-kisah pendek, tapi dengan daya alir yang kuat. Berbagai data “keras”
ditaklukkan Metta menjadi catatan
“cerita pendek” yang menolak disebut “straight news”: karena panjang isi
berita dan penataan isinya. Naratif Metta tak mau juga dikelompokkan sebagai feature
news: karena sengatan human interest Metta yang tak mau hanya menyentuh detil-detil
peristiwa biasa, melainkan terus memokus pada hipotesis investigatifnya – pada
tiap fragmen laporannya, dalam keseluruhan paparan naratifnya. Hal itu terlihat ketika Metta melaporkan “fakta-fakta” perasaan sedih
Vincent, berikut ini:
“Si sulung (10
tahun), si tengah (8 tahun), dan si bungsu (6 tahun). Wajah tiga bocah buah
hatinya itu terus membayang di benak Vincent. Perbincangan kami di kamar hotel
selepas makan siang di Shang Palace, langsung tersendat, begitu ia teringat
wajah-wajah lucu mereka.
“….
“Vincent tak
sanggup melanjutkan kata-kata. Suaranya tercekat. Bibirnya gemetar. Ia terus
mengerjapkan mata menahan air mata yang hampir tumpah. Tapi, upayanya tak
berhasil.
“Dari kedua
bola matanya, bulir air mata mengalir deras ke pipinya yang cekung.
Pertahanannya bobol. Ia hanya bisa menunduk lesu, berusaha lari tak menatap
saya. “…maaf, saya sangat sedih,” ujarnya lirih.
Dharmasaputra
(2013: 54), dalam “11 Vincent”
Naratif Metta juga emoh berbau depth reporting:
karena tidak berhenti di ulasan penjelasan, setelah uraian “apa, dimana, dan
kapan”, akan tetapi terus menghunus persoalan ke dalam “siapa” salah “siapa”
benar, “bagaimana dan mengapa” salah atau benar. Laporan Depth
hanya menjelaskan peristiwa, atau menguraikan pelanggaran yang telah diketahui
publik, dengan mendalam tapi tidak membongkar sampai tuntas dan tegas “siapa,
bagaimana, mengapa”-nya.
Hal itu, misalnya,
terlihat ketika Metta melaporkan proses
penjemputan Vincent dari Singapura, menuju Indonesia, yang dipenuhi dengan
ketegangan: perebutan siapa mendahului siapa, dengan cara “mengapa dan
bagaimana”, antara pihak Komisi Pemberantasan Korupsi versus pihak yang hendak
“melenyapkan” Vincent. Contoh:
“MR.GOH. Nama asing itu terus membayang di kepala
Vincent. Jantungnya berdegup kencang, ketika sekitar pukul 20.30 bel kamarnya
berbunyi. Tak mau gegabah, diintipnya sosok di luar sana dari lubang kaca kecil
di bagian atas pintu.
Rasa was-wasnya langsung hilang ketika ternyata
yang berdiri di balik pintu adalah Pak S. yang baru saja tiba dari Batam.
“Silakan masuk”, ujar Vincent membukakan pintu. Ia lantas menceritakan
percakapannya dengan Mr.Goh yang mengaku sebagai orang sewaan Sukanto Tanoto
(pemilik Asian Agri, red).
Pak S. menuturkan berkaitan dengan itulah ia
bergegas datang ke Singapura. Perintah dating langsung dari pemimpin KPK di
Jakarta untuk membawa Vincent pulang ke Indonesia.
Koordinasi ketat telah dilakukan dengan pihak
intelejen, Seorang aparat dari lembaga telik sandi Negara itu kini sedang dalam
perjalanan menuju hotel Meritus Negara. Kabar melegakan ini segera disampaikan
Vincent kepada saya dan Ferry, adiknya, via e-mail….
Dharmasaputra (2013), dalam “Operasi
Intelejen” (hlm.76)
Cuplikan pendek tersebut
menunjukkan dagdigdug Vincent ketika
hendak dijemput – dan dinaratifkan dengan cara “investigatif” dalam banyak
subbab berikutnya di buku Saksi Kunci ini, yang berbeda dengan gaya dan
isi laporan Depth.
Pada titik tertentu, saya sepakat bila Naratif Metta
meng-copy paste gaya immersion reporting-nya Truman Capote dalam "In Cold Blood" yang dingin,
dalam merekonstruksi kembali fakta, secara berbeda. Pada
Capote, ia kerap menyediakan adegan, dialog, pelbagai perspektif tokoh
beritanya, serta detil-detil, dalam reka kisah faktualnya, seperti ini:
Ketika Dick berdiri dan mulai bergaya – dengan
bertopang pada kedua tangannya ia mengangkat kedua kakinya sehingga tegak
lurus, untuk menarik perhatian empat wanita di bawah payung merah muda – Perry
menyibukkan dirinya dengan membawa Miami Herald. Tiba-tiba sebuah berita di
halaman dalam menyita seluruh perhatiannya.
Sebuah berita tentang pembunuhan sebuah keluarga di
Florida, Tuan dan Nyonya Clifford Walker, putra mereka yang berusia empat tahun
dan putri mereka yang berusia dua tahun. Masing-masing korban ditembak di
kepala dengan senjata api kaliber 22. Pembunuhan yang tidak meninggalkan
isyarat dan motif apa-apa itu terjadi Sabtu malam, tanggal 19 Desember di rumah
Walker, yang dikelilingi peternakkan sapi, tidak jauh dari Tallahassee.
Perry mengganggu Dick dengan membaca berita itu
keras-keras dan bertanya, “Kita di mana Sabtu malam yang lalu?”
“Tallahessee?”
“Itu yang kutanyakan”.
Sebagai
wartawan Indonesia, di fase Reformatif, Naratif Metta telah diisi dengan banyak pengaruh,
persingungan, penelusuran, dan gaya menulis yang berbasis data, angka, dokumen,
dan hipotesis laporan – yang berada dalam amatan linear, terus tertuju pada
awal dan akhir fakta-fakta yang kuat dan tajam.
Pelajaran dari Naratif panjang Bondan dan Naratif dingin Capote mengalurkan kisah,
tampaknya, diejawantahkan Metta ke dalam gaya Naratif TEMPO tahun 2000-an,
Gaya seperti ini memang khas TEMPO. Feature-feature TEMPO kini, sejak
1996 terbit kembali usai dibredel, memakai aroma human interest yang
berbeda dengan gaya 1970-an, di mana para wartawannya banyak yang nyambil
jadi sastrawan di media sastra saat itu. Ada keringkasan. Ada pemilihan kata
dan kalimat yang padu, ketat, dingin, dibatasi ruang dan halaman. Gaya slank
Mahbub Djunaedy, misal, sudah jarang ditemui. Gaya prosais Goenawan Mohamad
diubah bentuk. Pilihan fakta yang tak terduga, unik, penuh sisi kemanusiaan dan
menyiratkan symbol yang luas, dan disajikan gaya sastra yang kuat: kini
berganti.
Maka itu, saya melihat Naratif Metta di buku ini dalam pengaruh “Capote” dan TEMPO.
Saya juga merasakan “belati” investigatif Bondan, yang melaporkan kasus sampai
tuntas, dilanjutkan Metta .
Dan, tentu saja, belati investigatif Metta yang punya daya jelajah, keberanian,
ke-khusuk-an, serta niat teguh: yang orisinal, membongkar, tapi sekaligus juga
“kesepian”. Metta seolah sendirian di
rumah pers Indonesia ketika membukukan hasil investigasinya, yang jarang
dilakukan wartawan, dalam bentuk buku seperti Saksi Kunci. ***
[1]
Winarno, Bondan ,1997, Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Langit,
Jakarta : Penerbit Inspirasi Indonesia