Jumat, 27 Agustus 2010

Parlemen

setiap orang membungkuk

saat kelelawar masuk
ke ruang gaduh berseru-seru,

oleh banyak atribut
oleh saling sikut
oleh mulut kalang kabut

Burung garuda di sudut
menggigil ngilu


2/2/2010

Sabtu, 07 Agustus 2010

KORPORAT MEDIA: A Club Culture

Mengapa korporasi masuk ke dalam bisnis media? Ini karena bisnis telah menjadi bagian hidup kita. Bisnis telah jadi pertunjukan, sebuah drama tentang kehebohan dan petualangan. Para aktornya, menurut Melewar dan McCann (2004), adalah berbagai perusahaan yang menggunakan citra atau aksi sebagai drama dan intrik untuk menarik masyarakat.

Bagaimana kita memahami Infotainment, misalnya, jadi bisnis yang
menyihir publik terbengong-bengong, tak bisa beranjak, menatap selebritas
tersedu-sedu atau terbahak-bahak, memaki-maki atau memuji-muji (diri sendiri
atau orang lain)? Jawabnya, antara lain, ialah: selamat datang di dunia KORPORAT MEDIA: A Club Culture.


Kini, jaringan korporasi bisnis media telah jadi intrik di di dalam kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan politik.

Beberapa pengamat menjelaskan lewat lanskap dunia contemporary cultural producers. McRobbie’s (2000) merujuk sejumlah teori sosial reflexivity, network cultures, governmentality, and individualization sebagai bagian dari kegiatan cultural economy.
Perkembangan tekknologi komunikasi memberi wadah. Sistem komunikasi menjadi cair ke berbagai medium. Dari sanalah, digariskan fase network society, dan perubahan markets berikut buruh, manajemen, dan unit bisnis yang saling berjejaring, dan berkoporasi.

Kapitalisme memroses restrukrisasi orientasinya ke dalam fleksibilitas manajemen, dan desentralisasi. Jejaring perusahaan, secara internal, pun jadi bisa intim berhubungan dengan perusahaan lain (Castells, 1996). Ini berarti kerja penyempurnaan marketing and selling, understanding stakeholder needs, problem solving, designing and deploying effective solutions, and communicating, dari manajemen "korporate" media.

Bisnis media pun berubah jadi mahluk ganas dalam mencari "ceruk" pasar.

Pasar itu ialah pasar informasi, yang kini kian lalu lalang dengan cepat dan merangsak. Tiap publik diserang berbagai channel informasi, di tiap waktu "jaga"-nya. Inilah realitas ekonomi di fase kultur industri berbasis teknologi komunikasi.

Teknologi komunikasi membuat media jadi dapat melayani publik “di mana saja, kapan saja, dan siapa saja”, bisa bercakap-cakap, atau mencari informasi. Imbasnya, menurut Gates (1996) and Negroponte (1995), publik pun terpuruk dalam arus bisnis korporat media massa. Korporasi media massa mengoplos masyarakat (tanpa sadar) ikut serta mengolah kreasi, koleksi, distribusi "keong racun" (contoh) jadi bisnis informasi.

Masyarakat menjadi stakeholders. Masyarakat jadi sehimpun kompetensi yang harus dihitung. Diukur, misalnya: kapasitas local and global environments-nya, skill komunikasinya, dan orientasi peminatannya. Hitungannya tertuju pada raihan iklan. Tiap unit media-korporasi mesti mengkalkulasi nilai informasi: yang diminati iklan.

Ekspetasi korporat media menjungkirkan kenangan lama tentang pers sebagai Anjing Penggonggong .

Bagi jurnalisme, ini merubah pola gatekeepers, para penjaga gawang berita. Mereka tidak lagi cuma duduk bertopang kaki. Pengelola media harus berjumpalitan mencari, menelusuri, dan mengkalkulasi, sampai dimana kekuatan isu dan isi berita. Masyarakat menjadi ladang kalkulasi sampai berapa jauh dapat ditembus.

Tak pelak lagi, upaya korporasi media massa menjadi satu lahan yang dibentuk dan dijajagi sebagai sebuah manajemen bisnis. Dimensi egalitarian dan kolaborasi distrukturisasi sebagai kekuatan bisnis informasi. Sifat-sifat links yang menghantarkan email kita terkirim ke berbagai medium, diraih korporasi media ke dalam penghantaran pemberitaan yang bisa menjambangi berbagai khalayak di berbagai jenjang.

Jejaring korporasinya meminta produk jurnalismenya harus memainkan dengan cermat dan jeli unsur-unsur berita, seperti Immediacy, Proximity, Consequence, Conflict, Oddity, Sex, Emotion, Prominence, Suspense, dan Progress. Berbagai komponen ini, misalnya, dijelajahi ke ekspektasi minat dan kepentingan khalayak.

Tapi, jangan cuma sekadar mencari laba, masuk ke dalam putaran finansial semata.

Artinya, mutu produk pemberitaan jurnalistiknya tetap dalam standarisasi quality control tertentu. Ekspetasinya, dengan demikian, berada dalam garis korporasi yang menjelajahi ruang “minat dan perhatian” privacy khalayak, namun dengan acuan standarisasi “nilai” produk jurnalisme yang baik.

Pada titik inilah, diperlukan upaya manajemen media
korporasi yang terus-menerus bisa “focus more on activities designed to
transform information into knowledge
,” saran Dhir and Harris (2001) ketika
mengemukakan the demand for new corporate competencies. Para pekerja
media (di jenis infotaintment atau crime, misalnya), harus mau
mengukur keuntungan publik, yang lebih maslahat.


Bukan yang mudlarat. Bukan cuma mengukur keuntungan bisnis dan duit: dalam, "analysing, interpreting, and evaluating activities that drive the decision-making process.” Bukan hanya terus-terusan mencari persepsi, experience, atau interes publik yang menguntungkan kekuatan bisnis media semata: dalam adukan programa to entertain dan to inform semata. .
Masyarakat itu juga mesti diberi new time horizons. Horison waktu yang dikerangka korporat-media mesti membuat capaian “continuing education emphasize intellectual capacity and professional development” di dalam produk informasinya. ***