Senin, 25 April 2011

Berita dan Reportase


Ada seseorang kalau tidak salah, namanya Steven Cowan. Dia memberikan studi dan daftar bahwa semangat jangoistik dari pers Amerika, memang sangat berapi-api. Terbawa oleh kemarahan mereka, setelah menyaksikan penyerangan yang menimpa gedung World Trade Center. Sejak itu, saya tidak pernah mau melihat lagi televisi Amerika.

Sampai terakhir saat saya kembali berada di Amerika, saya melihat televisi Amerika hanya untuk mengetahui ramalan cuaca. Sedangkan untuk mengambil berita, saya hanya mengklik saja dari BBC, The Guardian dan The New York Time Online.

Jadi memang ada suatu bias yang berlebihan dari pers Amerika setelah World Trade Center diserang. Terutama jika dilihat dari segi pemberitaan yang disampaikan oleh stasiun televisi Amerika. Bahkan CNN dengan menggunakan satu nota khusus dari presiden direkturnya meminta supaya penggambaran yang baik tentang Taliban dikurangi. Ada datanya pada saya. Tetapi seperti yang saya katakan tadi, banyak oposisi terhadap hal ini. Ketika saya berada di Aneurberg, ada satu panel diskusi yang menarik berlangsung beberapa bulan yang lalu. Tema diskusi tersebut mengkaji tentang bagaimana meliput Islam dan keturunan Arab yang berada di Amerika. Satu kritik diri yang tajam sekali dilakukan oleh para wartawan Amerika, mereka memang mengakui banyak yang salah.

Salah satu yang juga menjadi sasaran kritik adalah harian The New York Times. Ketika terjadi demonstrasi anti-perang yang berlangsung di London, New York Times ternyata tak memberitakan apa-apa. Padahal saat itu, ada 100.000 orang lebih yang melaksanakan demonstrasi anti perang di London.

Tadi malam saya juga baru dapat e-mail (7 November), ketika kemarin terjadi demonstrasi anti perang di New York, disebut jumlahnya 10.000 oleh New York Times. Padahal jumlahnya mencapai angka 100.000. New York Times mengurangi jumlah para demonstran yang anti perang. Tetapi kemudian timbul protes besar-besaran, sehingga juru bicara New York Times terpaksa melihat kembali apa yang terjadi.

Nah, kalau kita lihat ke Indonesia, kita tak lebih baik. Dalam memberitakan pengeboman di Bali, kita terlalu cepat mengambil kesimpulan. Banyak faktor yang mempengaruhi hal itu terjadi karena kita tergesa-gesa atau terbawa oleh emosi ataupun oleh faktor praduga-praduga kita. Lalu terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Ini kutipan dari pandangan seorang tokoh pers Indonesia, Goenawan Mohamad, tentang berita dan kecenderungannya, pada akhir abad 20. (Goenawan Mohamad, 2002, Dalam Diskusi ISAI/Majalah Pantau; Liputan Media Tentang Bali: Mana Jurnalisme Mana Propaganda? 7-8 November 2002, Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta)

Ia memaparkan bagaimana sebuah pemberitaan itu bisa bercampur dengan kepentingan di luar jurnalisme. Ia menanggapi kecenderungan Jinggoistik dari pemberitaan media di Amerika. Pangkal soalnya ialah sikap pemberitaan AS di dalam memberitakan Tragedi Runtuhnya Gedung Menara Kembar World Trade Centre, di New York, pada 11 September 2001. Pemberitaannya menjadi berat sebelah, dengan mengambil sikap seperti seorang Cowboy yang marah hendak membalas dendam musuh-musuhnya.

Dekade 1990-an memang memberi wajah yang berbeda pada jurnalisme Amerika, menurut Downie JR dan Kaiser (hlm. 219-222). Para pemilik menekan wartawan untuk menghasilkan laba. Banyak topik berita penting dihilangkan, berganti kisah-kisah selebritis. Bisnis berita mengakibatkan berita tradisional masuk liang kubur.

Semua itu berubah ketika 11 September 2001, gedung WTC runtuh. Para reporter, editor dan produser media elektronik, para kolumnis dan penyiar, mengambil sikap. Mereka mengenyampingkan pertimbangan komersil. Mereka tergerak untuk membuat pekabaran kepada masyarakat dengan semangat yang hampir musnah sebelumnya, dengan sikap responsibilitas dan upaya pengisahan berita yang berbeda. Para pembaca dan pemirsa mendapatkan liputan yang jarang ada sebelumnya.

Serangan itu memberi efek luar biasa pada berbagai organisasi berita. Mereka kembali melihat demokrasi harus ditegakan. Khalayak berita membutuhkan penjelasan yang detil, komprehensif, informasi yang cerdas. Dan, yang terlebih penting, mereka terhenyak. Tidak lagi bersikap menyalah-nyalahkan pelbagai pihak kepada para pembaca atau pemirsa, dan para konsumen berita. Mereka kembali mencari, seperti jurnalisme di awal tumbuhnya, jawaban apa yang telah terjadi. Serangan dan reaksi masyarakat, yang membingkai wacana publik saat itu, seakan memberi “pandangan baru”, a new look at life.

Hampir semua orang yang terlibat di bisnis berita bekerja secara mengesankan dalam melayani para pembaca dan pemirsanya. Banyak suratkabar menerbitkan edisi ekstra, mengabarkan rincian kisah pada hari-hari itu. Jaringan televisi mengorbankan siaran komersialnya, selama hari-hari itu. Jurnalisme tidak lagi diletakan sebagai alat peraga, uniformly excellent, melaikan kembali kepada alat pentingnya, yaitu melaporkan esensi nilai berita (news values).

Ini berbeda dengan dekade 1980-an dan 1990-an, dimana berbagai organisasi berita AS telah menjadi medium yang lebih lembut, pemalas, dan anehnya tidak diprotes oleh masyarakatnya. Serangan itu kemudian menghentakan fenomena akan pilihan soft dan hard, atau silly dan serious pada soal news values.

Nilai Berita

Nilai Berita (News Values), menurut Downie JR dan Kaiser, merupakan istilah yang tidak mudah didefinisikan. Istilah ini meliputi segala sesuatu yang tidak mudah dikonsepsikan. Ketinggian nilainya tidak mudah untuk dikonkretkan. Nilai berita juga menjadi tambah rumit bila dikaitakan dengan sulitnya mengonsepsi apa yang disebut berita.

Mari kita lihat gambaran berita yang berkembang di Amerika, pada akhir Abad 20, di sebuah kota. Dimulai dengan jam-jam siaran radio, khalayak mendengarkan berita-berita headlines secara staccato (ringkas), seperti hasil skor pertandingan olah raga tadi malam serta laporan harga-harga bahan pokok di pasar-pasar. Berbagai berita komersial stasiun radio itu dibuat dalam keringkasan item-item berita, yang kerap merupakan hasil rekapan-singkat berita koran lokal, ditambah laporan langsung tentang kemacetan di beberapa ruas jalanan kota. Pemberitaan televisi pun terdiri dari sedikit headlines dan pokok-pokok penting dari berita-berita tadi malam. Beberapa stasiun televisi menyajikan beberapa headlines berita dan tambahan wawancara dengan beberapa orang. Tokoh-tokoh beritanya biasanya ialah para entertainers dan beberapa selebritis daripada para pejabat pemerintah atau pakar.

Koran lokal agak lebih variatif. Banyak menampilkan berita-berita lokal, tambah berita lifestyle, olahraga dan keuangan. Ada juga yang menyisipkan berita-berita nasional dan luar negeri. Kebanyakan kisahnya mengetengahkan peristiwa-peristiwa seperti “pendapat/tanggapan seseorang, konprensi pers, keputusan pengadilan, dan pertandingan olahraga. Pada beberapa koran lokal yang baik muncul pemberitaan yang “membuka selubung” sesuatu yang lama (atau sengaja) ditutup-tutupi; informasi yang susah ditemukan dalam publikasi press release atau konperensi pers. Pada beberapa pagi tertentu, beberapa koran yang baik ini mengejutkan pembaca dengan laporan-laporan yang tidak terduga, penuh dengan rincian, dan begitu mendalam.

Sementara itu, para pengguna jaringan berita kabel – seperti CNN, CNBC, ESPN, Fox Cable Newsdan MSNBC – mengikuti berita-berita utama, berupa liputan langsung dan potongan-potongan berita pendek, sepanjang hari itu. Di internet, situs-situs berita juga berloma memasok informasi, dari stok berita lama sampai yang baru terjadi. Beberapa news bulletins mengirimkannya, lewat e-mail, kepada para pelanggannya.

Pada sore hari, televisi lokal melaporkan kisah-kisah lokal yang terjadi di sepanjang hari itu. Di AS, sebelum terjadinya peristiwa WTC, program jaringan berita sore banyak menyuguhi pemirsanya dengan berita-berita softer, semacam berita kesehatan dan feature-feature pendek. Penayangan the prime-time newsmagazines, seperti Dateline dan 20/20, misalnya, memang menyiarkan real news akan tetapi lebih banyak lagi menyiarkan kisah-kisah kriminal, wawancara selebritis, dan semacamnya. Hal ini, dalam kemasan yang berbeda, sejak awal tahun 2000-an, menjamur juga di banyak siaran televisi Indonesia. Banyak paket-paket siaran informasi crime dan celebrity, yang dikelola stasiun televisi ataupun bekerja sama dengan production house swasta, bermunculan di jam-jam tayang prime time.

Demikianlah gambaran news values di berbagai pemberitaan yang mengisi hari-hari masyarakat. Dimanakah nilai berita diletakan?

Elemen Nilai Berita

Beberapa elemen nilai berita, yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah: Immediacy, Proximity, Consequence, Conflict, Oddity, Sex, Emotion, Prominence, Suspense, dan Progress. Di dalam sebuah kisah berita, bisa jadi terdapat beberapa elemen yang saling mengisi dan terkait dengan peristiwa yang dilaporkan wartawan.

IMMEDIACY

Immediacy kerap diistilahkan dengan timelines. Artinya terkait dengan kesegeraan peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan sebagai laporan dari apa yang baru saja terjadi. Bila peristiwanya terjadi beberapa waktu lalu, hal ini dinamakan sejarah. Unsur waktu amat penting disini.

PROXIMITY

Khalayak berita akan tertarik dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dekatnya, di sekitar kehidupan sehari-harinya. Proximity ialah keterdekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa dalam keseharian hidup mereka. Orang-orang akan tertarik dengan berita-berita yang menyangkut kehidupan mereka, seperti keluarga atau kawan-kawan mereka, atau kota mereka beserta klub-klub olahraga, stasiun, terminal, dan tempat-tempat yang mereka kenali setiap hari.

Melalui unsur ini pula, tergambarkan keberhasilan koran-koran lokal, yang dikelola dengan baik. Mereka mencari perkembangan kota atau propinsi yang menjadi lahan kehidupan terdekat mereka.

CONSEQUENCE

Berita yang merubah kehidupan pembaca adalah berita yang mengandung nilai konsekuensi. Lewat berita kenaikan gaji pegawai negeri, atau kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), masyarakat dengan segera akan mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi sehari-hari yang harus mereka hadapi. Putusan parlemen yang mengesahkan Banten menjadi sebuah propinsi, dan lepas dari kewilayahan Jawa Barat, akan diperhatikan masyarakat dikarenakan konsekuensi (bagi para penduduk Banten dan sekitarnya) yang akan dihadapi mereka.

CONFLICT

Peristiwa-peristiwa perang, demonstrasi, atau kriminal, merupakan contoh elemen konflik di dalam pemberitaan. Perseteruan antarindividu, antartim atau antarkelompok, sampai antarnegara, merupakan elemen-elemen natural dari berita-berita yang mengandung konflik.

ODDITY

Peristiwa yang tidak-biasa terjadi ialah sesuatu yang akan diperhatikan segera oleh masyarakat. Kelahiran bayi kembar lima, goyang gempa berskala richter tinggi, pencalonan tukang sapu sebagai kandidat calon gubernur, dan sebagainya, merupakan hal-hal yang akan jadi perhatian masyarakat.

SEX

Kerap sex menjadi satu elemen utama dari sebuah pemberitaan. Tapi, sex sering pula menjadi elemen tambahan bagi pemberitaan tertentu, seperti pada berita sports, selebritis, atau kriminal. Berbagai berita artis hiburan banyak dibumbui dengan elemen sex. Berita politik impacthment Presiden Clinton, AS, banyak terkait dengan unsur sex-nya.

EMOTION

Elemen emotion ini kadang dinamakan dengan elemen human interest. Elemen ini menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan, simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau humor. Elemen emotion sama dengan komedi, atau tragedi.

PROMINENCE

Elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar istilah “names make news”, nama membuat berita. Ketika seseorang menjadi terkenal, maka ia akan selalu diburu oleh pembuat berita. Unsur keterkenalan ini tidak dibatasi atau hanya ditujukan kepada status VIP semata. Beberapa tempat, pendapat, dan peristiwa termasuk ke dalam elemen ini. Bali, petuah-petuah hidup, dan Hari Raya memiliki elemen keterkenalan yang diperhatikan banyak orang.

SUSPENSE

Elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu, pada sebuah peristiwa, oleh masyarakat. Adanya ketegangan menunggu pecahnya perang (invansi) AS ke Irak, adalah salah satu contohnya. Namun, elemen ketegangan ini tidak terkait dengan paparan kisah berita yang berujung pada klimaks kemisterian. Kisah berita yang menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting. Kejelasan fakta dituntut masyarakat. Penantian masyarakat pada pelaku “Bom Bali” tetap mengandung kejelasan fakta. Namun, ketegangan masyarakat tetap terjadi selama kasus tersebut dilaporkan media, khususnya kepada rincian fakta kejadiannya beserta wacana politik yang membayanginya.

PROGRESS

Elemen ini merupakan elemen “perkembangan” peristiwa yang ditunggu masyarakat. Kesudahan invansi militer AS ke Irak, misalnya, tetap ditunggu masyarakat. Bagaimana masyarakat Irak seusai perang tersebut membangun pemerintahannya adalah elemen berita yang ditunggu masyarakat. Bagaimana upaya negara-negara yang terkena wabah SARS, pemberitaannya masih diminati masyarakat..

Katagori Berita

Berbagai elemen nilai berita itu harus dipaparkan dengan bahasa pelaporan berita. Penulisannya tidaklah sama dengan menulis makalah, laporan pertanggungjawaban, atau hasil rapat. Dalam jurnalistik, ihwal penulisan berita ini punya tempat yang khusus, dalam arti, dibahas secara khusus: melalui karakteristik dan batasan-batasan yang mesti dipenuhinya (bahasan lengkapnya di Bab Bahasa Jurnalistik Indonesia).

Selain itu, terkait pula dengan jenis pemberitaan yang hendak dikontekskan. Pertandingan sepakbola, yang berlangsung malam hari – yang tidak disiarkan secara langsung oleh televisi – yang masih sempat dikerjakan laporannya, tentu saja, akan disampaikan secara hardnews: dengan penekanan pada hasil skor akhir pertandingannya, ditambah jalannya permainan kedua klub yang bertarung. Akan tetapi, hasil hearing di parlemen, yang berlangsung alot tentang RUU Keadaan Darurat Perang, bisa dilaporkan secara feature news: dengan kedalaman dan perluasan berita yang tidak seketat pemaparan hardnews. Dan, di sepanjang hari itu, tentu saja (lagi) punya banyak peristiwa yang mesti diketahui masyarakat. Ada berita olahraga lain, berita tentang kesehatan, dan peristiwa-peristiwa sosial lainnya.

Dalam kaitan itulah, jurnalistik kemudian membakukan beberapa katagori pemberitaan, seperti: hard news, feature, sports, social, interpretive, science, consumer dan financial .

Hard News

Kisah berita ini merupakan desain utama dari sebuah pemberitaan. Isinya menyangkut hal-hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan pembaca, pendengar, atau pemirsa. Kisah-kisahnya biasanya adalah hal-hal yang dianggap penting, dan karena itu segera dilaporkan, oleh koran, radio atau televisi dari semenjak peristiwanya terjadi. Pada koran, beritanya diletakan di halaman depan. Pada televisi dan radio, beritanya disiarkan di jam-jam primetime. Pada situs-situs berita internet, laporan langsung di-up load, pada up dating informasi yang mesti segera diketahui masyarakat.

Feature News

Berita feature ialah kisah peristiwa atau situasi yang menimbulkan kegemparan atau imaji-imaji (pencitraan). Peristiwanya bisa jadi bukan termasuk yang teramat penting harus diketahui masyarakat, bahkan berkemungkinan hal-hal yang telah terjadi beberapa waktu lalu.

Kisahnya memang didesain untuk menghibur. Namun, tetap terkait dengan hal-hal yang menjadi perhatian, atau mengandung informasi, bagi khalayak berita. Subyek beritanya mungkin hanya mengisahkan kegemaran orang-orang, tempat-tempat di kota yang telah dilupakan padahal menyimpan nilai sejarah atau kultur, atau kehidupan seorang sukses yang layak diteladani, dan bisa juga orang-orang kelas bawah yang bertahan di sudut-sudut kota yanh kumuh.

Sports News

Berita-berita olahraga bisa masuk ke katagori hard news atau feature. Selain dari, hasil-hasil pertandingan atau perlombaan atau rangkaian kompetisi musiman, pemberitaan juga meliputi berbagai bidang lain yang terkait sports, seperti tokoh-tokoh olahragawan, kehidupan para pemain olahraga yang hendak bertanding, kesiapan-kesiapan kelompok olahraga di dalam masa pelatihan, sampai para penggemar olahraga tertentu yang fanatik.

Social News

Kisah-kisah kehidupan sosial, seperti sport, bisa masuk ke dalam pemberitaan hard atau feature news. Umumnya, meliputi pemberitaan yang terkait dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, dari soal-soal keluarga sampai ke soal perkawinan anak-anak.

Interpretive

Di kisah berita interpretive ini, wartawan berupaya untuk memberi kedalaman analisis, dan melakukan survei, terhadap berbagai hal yang terkait dengan peristiwa yang hendak dilaporkan.

Science

Dalam kisah berita ini, para wartawan berupaya untuk menjelaskan, dalam bahasa berita, ihwal kemajuan perkembangan keilmuan dan teknologi.

Consumer

Para penulis a consumer story ialah para pembantu khalayak yang hendak membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari, baik yang bersifat kebutuhan primer dan sekunder, seperti peralatan rumah tangga sampai asesoris pakaian.

Financial

Para penulis financial news memokus perhatiannya pada bidang-bidang bisnis, komersial atau investasi. Para penulisnya umumnya mempunyai referensi akademis atau kepakaran terhadap subyek-subyek yang dibahasnya..

Piramida Terbalik

Dunia pers memerlukan kompetensi tertentu. Writing Competencies, menurut Katty Yanchef dalam tulisannya The Professional Journalist of the New Millennium (2000), adalah salah satu kemampuan yang diperlukan.

Ini merupakan kemampuan untuk menulis secara akurat, jelas, kredibel, dan valid. Keterampilan menulis ini antara lain mempersyaratkan:

· Kemampuan menulis secara benar dan baik dalam memakai tanda baca, istilah, dan gejala kebahasaan lainnya

· Pengetahuan dan penggunaan kata-kata

· Kemampuan menyusun dan menulis paragraf demi paragraf

· Dan kemampuan penulisan lainnya

Bagi dunia pers, kemampuan ini dipakai untuk melaporkan berita. Berita merupakan salah satu segi penting dari dunia pers. Melalui berita, pers dibutuhkan masyarakat. Berbagai peristiwa diketahui masyarakat. Pers menjadi mata masyarakat untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat itu begitu beragam. Untuk itu, berita diklasifikasikan ke berbagai jenis. Ada berita politik, berita sosial, berita pendidikan, berita ekonomi, berita sastra dan budaya, dan sebagainya.

Segala jenis berita itu disampaikan wartawan melalui teknik penulisan tertentu: teknik penulisan Piramida Terbalik. Model menulis yang mengikuti bentuk segitiga yang terbalik. Bagian atasnya lebar, bagian bawahnya menyempit. Isi berita ditekankan di di bagian Awal. Selanjutnya, semakin ke bawah, menuju bagian akhir, semakin tidak penting, sisipan-sisipan keterangan.

“Bentuk pengisahannya amat kaku, rigid, seperti pelaporan waktu jaman Perang Sipil di Amerika (American Civil War), yang membutuhkan cerita dengan satu paragrap awal (lead ) dari satu atau dua kalimat yang meringkas esensi beritanya,” jelas Edward Jay Friedlander & John Lee, dalam Feature Writing forNewspapers and Magazies: The Pursuit of Excellence (1988: 2-3). Bagian awal berita dibuat ringkas, tipikalnya tidak lebih dari 35 kata. Penulisannya terurut pada nilai pentingnya informasi, berdasarkan urutan peristiwa yang paling penting sampai kepada yang paling tidak penting.

“Informasi di puncak piramid – lead – merupakan informasi yang sangat penting,” kata Friedlander & Lee (hlm: 29) .

Bentuk piramida, yang mengerucut di bagian bawah, membuat wartawan harus segera mengurutkan laporan beritanya. Bagian yang paling atas merupakan ruang penulis untuk ringkasan isi berita (summary statement). Baru setelah itu, dilanjutkan dengan penjelasan. Yakni, pengembangan detil-detil, fakta-fakta, dan hal-hal lain.

Model Piramida Terbalik ini dibuat wartawan Amerika selama mengikuti kejadian Perang Saudara (Sipil). Setiap berita disampaikan melalui baris-baris telegrap, yang gampang terganggu di tiap saatnya. Dalam situasi itu, sangatlah wajar jika wartawan mengirimkan informasi awalnya berdasar ringkasan penting peristiwa. Dan, para jurnalis kini menyebutnya dengan lead berita.

Kini gaya Piramida Terbalik banyak dipakai dalam penulisan berita. Ruang dan waktu media membutuhkan model piramida ini. Ada dua alasan. “Pertama, para pembaca dapat segera mengetahui isi berita dengan membaca lead dan beberapa paragrap awal. Kedua, memudahkan redaktur memotong berita yang terlalu panjang, lewat materi berita yang tidak begitu penting di ujung bagian bawah berita,” jelas Friedlander & Lee.

Dalam Piramida Terbalik, ringkasan pesannya mesti memiliki kelengkapan informasi. Kelengkapan informasi itu mencakup unsur-unsur pemberitaan 5 W + 1 H, yakni: What (peristiwa apa yang diberitakan), Who (siapa saja yang terlibat dengan peristiwa), When (waktu peristiwanya, kapan saja terjadinya), Where (tempat peristiwa berlangsung, dimana saja kejadiannya), Why (mengapa peristiwa tersebut terjadi, faktor-faktor yang menyebabkan peristiwa terjadi), dan How (bagaimana peristiwa tersebut terjadi).

Unsur-unsur ini membuat kisah berita menjadi jelas, terang, dan langsung dipahami masyarakat. Bagian awal Inverted Pyramid, atau lead, biasanya memuat unsur 5 W + 1 H. Ini agar Khalayak segera mengetahui inti peristiwa yang dilaporkan. Setelah itu, barulah keterangan lebih lanjut dari peristiwa-berita tersebut.

Namun, dalam pemberitaan media sekarang, model Piramida lebih banyak dipakai oleh media elektronik. “Waktu dan ruang” siaran radio atau televisi amatlah ketat. Tiap breaking news harus segera disiarkan dialokasi waktu dan ruang siaran yang sempit. Siaran berita di jam-jam tayangan tertentu mengharuskan kemasan berita yang ringkas, pendek, dan cepat. Sifat Piramida Terbalik memenuhi kebutuhan tersebut.

Begitu pun dengan situs berita di Internet. Medium online journalism ini hanya memiliki ruang sebatas layar monitor. Berbagai kejadian aktual mesti segera dilaporkan tiap detiknya. Berbagai sisipan informasi lanjutan disediakan lewat sifat hypertext yang tinggal di-klik oleh para user. Format kesegeraan pesan dan ruang yang terbatas itu dapat diwadahi oleh Piramida Terbalik.

Pemberitaan koran, medium awal pengguna Piramida Terbalik, telah berubah. Berita koran tidak lagi berpendek-pendek, ringkas, seperti breaking news atau straight news. Koran dikalahkan radio, televisi, dan situs berita. Kecepatan pemberitaannya menurun drastis. Kalah cepat dengan media elektronik. Maka itu, pemberitaan koran kini memokus rincian atau detil-detil kelengkapan berita. Pemberitaan depth reporting atau feature story lebih banyak digunakan. Pemberitaan macam ini mengisi kekosongan kedalaman berita yang belum dilaporkan radio dan televisi.

Perkembangan

"Kita sering mengatakan ada masalah di masyarakat, tetapi kita tidak menanyakan ke masyarakat apakah itu memang masalah mereka," tutur Redmond Batario, Presiden dan Direktur Eksekutif Center for Community Journalism and Development di Filipina (Kompas, 19/10/2002)

Ia menyalahkan jurnalisme yang terkena sindrom “good news ialah bad news” – dikarenakan pemberitaan yang ditangkap secara top down, melalui statement para tokoh, celebs, elit. Selebihnya, adalah tokoh-tokoh nothing. Cuma berita-berita kecil, mengharukan, dari orang-orang kecil. Orang-orang yang mengisi ruang bernama publik. Orang-orang yang sebenarnya dari publik itu sendiri. Orang-orang yang tak diberi tempat di ruang yang bernama publik.

Mereka disingkirkan. Mereka tak diberi ruang. Status nara sumber hanya sedikit memberinya tempat. Mereka tidak punya agenda setting. Apalagi untuk menyatakan permasalahannya sendiri. Soal-soal keseharian mereka cuma ada di kacamata elit-berita membuat sindrom: bad news ialah good news. Solusi persoalan mereka ada di tangan para pengamat, pemimpin partai, dan sedikit gosip “cek & ricek”.

Etika

Untuk itulah, dalam perkembangannya, jurnalisme mengembangkan persyaratan yang perlu ditambahkan (dan di-kode etik-an wartawan) dalam membuat berita. Hal ini terkait pula dengan fenomena kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Media harus melaporkan berbagai konflik yang terjadi di berbagai bangsa.

Jake Lynch menulis tentang Reporting the World: a practical checklist for the ethical reporting of conflicts in the 21st Century (2002). Ia memberikan beberapa unsur yang mesti dipenuhi dalam sebuah pemberitaan yang memiliki konflik sangat tinggi. Unsur-unsur ini diharapkan menjadi pertimbangan wartawan dalam menyiapkan, menyunting, membuat atau menulis berita tentang konflik.

Beberapa unsur pertimbangan itu, antara lain, adalah:

1. Bagaimana kekerasan harus dijelaskan?

§ Bagaimanakah menjelaskan secara bijak kekerasan tersebut ketika dilaporkan?

§ Apakah kekerasan itu langsung dilaporkan secara klasik “blow-by-blow”?

§ Atau, dengan memperlihatkan dampak kekerasan struktural dan kultural itu pada kehidupan orang-orang yang terlibat?

§ Apakah dijelaskan pula, secara sederhana, ihwal ketidakberfungsian, yang memproses terjadinya pengondisian kekerasan tersebut?

§ Apakah penjelasan itu juga menyimpulkan apa-apa yang sebenarnya atau mungkin terjadi nanti?

2. Seberapa tajamkah konflik yang terjadi?

§ Apakah konflik ini berada dalam kondisi “tarik-menarik kepentingan” pertarungan hidup – mati antara dua kelompok demi tujuan yang sama sehingga jika satu pihak menang, lainnya kalah?

§ Atau , seperti “ayunan kucing” (a 'cat's-cradle'): sebuah pola dimana banyak kelompok saling-tergantung kebutuhan dan kepentingannya, secara tumpah-tindih; atau berkemungkinan untuk diberikan solusi yang bersifat integral?

3. Adakah pemberitaannya menyisipkan pula upaya atau gagasan yang sifatnya menyelesaikan konflik?

§ Adakah di dalam liputan disiratkan rencana perdamaian, alternatif gagasan atau bayangan akan solusi?

§ Haruskah aspek-aspek berita ini menunggu sampai para pemimpin menghentikan “kesepakatan”?

§ Apakah liputan yang berisi tentang kesepakatan yang terjadi dapat membantu pembaca, atau khalayak, untuk ikut menangani penyebab kekerasan?

§ Apakah laporan menyebutkan orang-orang lain, selain para pemimpin dan petugasnya, ikut menangani penyelesaian konflik?

4. Apa peran “wartawan” dalam pemberitaan?

§ Apakah ada pesan tersurat, atau tersirat, tentang “pelbagai pihak yang merasa tidak OK selama kesepakatan belum tercapai”?

§ Adakah laporan menyarankan intervensi tengah dilakukan, sebelum kesepakatan dicapai?

§ Adakah pengujian terhadap pengaruh intervensi yang tengah dilakukan, dan hasilnya, pada perilaku orang-orang?

§ Apa dasar pertimbangan memilih suatu intervensi yang menyarankan suatu solusi, atau memilihnya dari beberapa macam intervensi?

Pelbagai unsur checklist ini diharapkan dapat membantu para wartawan, produser dan redaktur di dalam mengerangka pelaporan “konflik yang tengah dihadapinya. Juga, untuk mengukur emosi-diri dan kesiapan psikologis, selama meliput, agar dapat melakukan reportase secara efektif.****