Jumat, 20 Juli 2007

Infotainment” yang tidak Bertanggung Jawab*

ISI media bukan hanya kawin-cerai selebriti. Media bertanggung jawab untuk menjelaskan kehidupan artis seutuhnya. Hal itu, antara lain, dijelaskan lewat mengapa kawin-cerai dilakukan. Bagaimana kawin-cerai dikerjakan. Semua itu dijelaskan tidak sepotong-sepotong.
Sekira sepuluhan menit tayangan berita, misalnya, mesti utuh dikemukakan sebab-akibat kawin-cerai itu. Sepanjang satu halaman tabloid/majalah, kawin-cerai itu dilaporkan dengan jelas. Isi beritanya, berdasar fakta yang kuat, tidak menonjolkan semata perkara beda pendapat, perselingkuhan, atau tayangan pengadilan agama.

Salah mendefinisikan berita media bertanggung jawab lebih dari itu. Media menyelisik ke latar belakang persoalan, menelusuri konteks persoalan semendalam mungkin, mengangkat sosok-sosok (selebritis) yang tidak hanya berdasar satu-dua statement. Infotainment menjadi buruk karena kelemahan melaporkan informasi secara utuh, lengkap, dan faktual. Retaknya perkawinan Tamara Bleszynski dilaporkan tanpa keutuhan cerita-berita duduk-perkara sebenarnya. Hal itu diakibatkan ketidaklengkapan fakta yang menjelaskan, misalnya, 5 W + 1 H (What, When, Where, Who, Why + How) yang rinci tentang keretakan itu. Akhirnya, laporan itu jadi bolong di sisi faktualitas, tidak punya kekuatan laporan yang bisa diverifikasi khalayak. Tidak memiliki kejelasan fakta.

Khalayak infotainment kawin-cerai dijebak ke dalam penonjolan informasi sensasional. Sensasi selebriti meraih popularitas lewat dunia kawin-cerai. Padahal, seorang penyanyi (misalnya) punya tangis dan darah dalam mengejar prestasi dan prestise "kebintangannya". "Bintang di Surga" (mengutip lagu Peterpan) diraihnya melalui keluar-masuk dapur rekaman yang penuh tekanan, memilih panggung dan tampilan yang penuh hitungan, merawat vokal, muka, dan tubuh dengan latihan serta diet yang ketat melelahkan, dan berbagai perjuangan lain.
Maka itulah, banyak "artis-artis-an" yang bikin peristiwa sendiri. Ia ber-"pat gulipat" dengan media, lalu membuat cerita-berita yang telah diskenariokan. Ia, misalnya, pura-pura "jatuh cinta-lokasi" dengan artis lainnya, atau pura-pura ribut dengan pacar/pasangan nikahnya. Semua itu dilakukan demi masuk berita tayangan selebritas di waktu prime-time. Hal ini, mesti diwaspadai media.

Jadi, soalnya bukan dampak berita kawin-cerai. Yang, menurut Rezanades Muhammad dalam satu tulisannya di sebuah media, akan menimbulkan rasa malu dari keluarga artis yang bersangkutan, dan paling tidak membuat artis lain yang sedang berselingkuh lebih berhati-hati karena banyak kamera infotainment berkeliaran. Akan tetapi, tertuju pada tidak bisa menayangkan secara lebih bertanggung jawab, berdasar kaidah jurnalisme yang baik.

Salah mendefinisikan fakta

Sebuah berita menghasilkan sebuah informasi, yaitu representasi pengetahuan tertentu, yang disampaikan lewat elemen-elemen sebuah berita. Ketika informasi disampaikan sebuah berita, sebuah realitas ditawarkan. Dunia kenyataan digambarkan. Di sinilah, sebuah berita dapat menjadi cermin dari realitas yang sesungguhnya, atau menjadi cermin dari sebuah realitas yang palsu atau menipu.

Penjelasan kisah berita kawin-cerai, di awal tulisan, menggambarkan kaitan antara tampilan sebuah berita, lewat berbagai elemen fakta, dengan informasi yang diberikannya dan makna yang dihasilkan darinya, serta bagaimana dampaknya berkaitan dengan berbagai relasi yang ada di dalam masyarakat.

Berita media, yang dinilai serius, memakai tata nilai jurnalisme yang baik. Keseriusan itu muncul karena pelaporan yang berdasar fakta. Fakta adalah mahkluk sakral. Jurnalistik menekankan fakta yang mesti digali sampai ujung terdalam. Bukan hanya di permukaan.

Objektivitas fakta, merujuk kepada kesesuaian cerita-berita dengan realitas yang bukan cuma di permukaan, yang tidak sepotong-sepotong, yang tidak memuat satu-dua statement, yang tidak mewawancara satu-dua pihak, yang tidak menekankan drama human interest kawin-cerai. Akan tetapi, objektivitas fakta mengindikasikan 5 W + 1 H digali secara lebih rinci, mendalam, dan bisa diverifikasi dan dikonfirmasi ulang.

Jika objektivitas fakta kini tidak begitu diacu lagi, yang namanya subjektivitas wartawan pun mensyaratkan keluasan dan kemendalaman penggalian kejadian. Subjektifitas wartawan yang baik ialah subjek-wartawan yang tekun, rajin, dan cermat memaparkan kompleksitas persoalan manusiawi.

Ketika berita kawin-cerai artis ditonjolkan, wartawan mesti mengangkat fakta secara menyeluruh dan mendalam. Berbagai elemen fakta pendukung mesti didapat. Pernyataan "pisah ranjang" seorang artis, bukan fakta yang kuat bila tidak diklarifikasi, diverifikasi, dan dikonfirmasi kebenarannya. Berbagai pihak, tanda, tempat, waktu, mengapa dan bagaimananya pisah ranjang terjadi mesti dilaporkan. Khalayak berita diberi kejelasan secara menyeluruh dan mendalam.

Jika hanya mengangkat statement pisah ranjang, khalayak hanya dapat sepotong fakta berita. Dan ini bisa menyesatkan. Khalayak tersesat ke dalam belantara pisah ranjang yang penuh onak-duri pertanyaan yang tak terjawab. Khalayak terperosok ke dalam asumsi pisah ranjang tanpa diberi bukti klarifikatif, verifikatif, dan konfirmatif. Khalayak diformat ke dalam pola pikir pisah ranjang tanpa reserve.

Bila begitu ujungnya, dampak buruk berita terjadi. Berbagai umpatan, pada kerja media yang hanya menonjolkan sensasi, dilontarkan. Masyarakat yang sadar media, seperti banyak terbaca di media, menuding sinis pada infotainment. Penduduk yang "buta" media, seperti diriset berbagai lembaga, digiring ke pola pikir tonjolan sensasi, dagelan gosip, tanpa kebenaran yang utuh. Dampaknya, jangan-jangan, masyarakat menyelesaikan soal-soal keseharian dengan pola pikir sensasional. Jangan-jangan, menuding selebritis kerjanya cuma kawin-cerai. Dan, segala dampak jangan-jangan lainnya.***


*tulisan ini pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat – 30 Juli 2005

1 komentar:

firman taqur mengatakan...

infotainment menjadi bagian dari kewartawan dalam wadah PWI adalah sebuah malapetaka dan penghina dinaan terhadap profesi wartawan .....