Jumat, 13 Juli 2007

korupsi

Korupsi “Lingkungan”



Septiawan Santana K.



Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah saatnya tambah masuk ke soal lingkungan. Bukan hanya mngejar wajah koruptor di soal pembuatan dan pembongkaran lahan, tapi juga ke berbagai segi di soal lingkungan. Misalnya, lingkungan di Jawa Barat.
Di Jawa Barat, berbagai kebijakan di soal lingkungan sudah lama terasa rentan. Banyak kebijakan tidak memperhitungkan kepentingan masyarakat akan lingkungan yang sehat dan tertata baik secara ekologis. Banyak kebijakan dikalahkan oleh kepentingan pribadi individu yang memiliki kekuatan “uang dan kekuasaan”. Banyak kebijakan lingkungan dikalahkan kepentingan bisnis di lahan “lindung dan budi daya” dari wilayah Puncak sampai Jakarta.
Birokrasi pemerintahan menghasilkan kebijakan yang saling hantam: di satu sisi menekankan pentingnya penataan lahan yang sustainable bagi lingkungan, di sisi lain mengeluarkan perijinan (lokasi dan ekonomi) untuk para developer/perorangan yang membangun perumahan, vila peristirahatan, hotel, penebangan hutan liar dan sebagainya.
Ini sepersis pikiran Van Ufford dkk (1988) yang menyatakan bahwa dalam birokrasi yang disusun secara rasional pun, tersusup kepentingan-kepentingan pribadi, khususnya kepentingan para birokratnya. Ini berarti ketika suatu undang-undang dibuat, untuk kepentingan lingkungan, akhirnya disusupi oleh kebijakan-kebijakan birokrat yang bias bahkan kontroversial dengan undang-undang tersebut. Hal ini membuat masyarakat meniru hal-hal yang bias itu dengan tindakan yang lebih nekad: mendirikan bangunan tanpa ijin resmi. Ufford menyebutnya dengan pembangunan yang kontrovesial: yaitu, konsep pembangunan yang dapat berubah-ubah sesuai kehendak birokrasi yang berkuasa.
Ambil contoh, kebijakan pertanahan. Dalil umum menyatakan bahwa kebijakan pertanahan mesti mengejar tiga target, secara simultan, yaitu: efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan pelestarian lingkungan, serta pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Akan tetapi, di Kota Bandung, misalnya, dalil keadilan sosial dan pelestarian lingkungan serta pola penggunaan tanah yang berkelanjutan sering dijarah oleh kepentingan ekonomi – yang sering “tidak efisien” dan mewakili “pertumbuhan” ekonomi masyarakat banyak (lebih tertuju pada pertumbuhan ekonomi individu).
Keadaan itu seakan meneruskan teori kekuasaan yang menyatakan bahwa pihak yang berkuasa/ birokrat tetap akan menggunakan pengaruh pada objek tertentu untuk kepentingan mereka tanpa memikirkan kepentingan publik.
Dalam teori kekuasaan versi Cartwright (1959), misalnya, disinyalir bahwa kekuasaan, pada satu pihak (dalam hal ini birokrasi) dapat merubah kebijakan dengan kekuatan yang dimilikinya. Cara dan bentuknya bisa aneka ragam; misalnya, ini: Pertama, dilakukan oleh Pelaku (agent). Pelaku-pelaku ini biasanya adalah orang, sedangkan bentuknya bisa orang perorang, panitia, kelompok, badan hukum dan lain-lain, yang mempunyai kekuasan. Mereka membuat kekuatan yang ampuh dalam mempengarhi kebijakan (lingkungan): untuk kemaslahatan sendiri, bukan orang banyak. Kedua, dibuat oleh Tindakan pelaku (act of agent): ini adalah membuat berbagai tindakan yang menggiatkan atau menimbulkan suatu pengaruh (efek). Untuk menimbulkan efek ini, pelaku kebijakan melakukan tindakan tertentu.
Kedua hal itu merupakan sebagian kecil dari penyakit korup birokrasi yang berkenaan dengan lingkungan. Dengan pendekatan teori kekuasaan ini, diasumsikan adanya sistem birokrasi yang menjalankan fungsi dan tugasnya bersifat mendua.

PAD Pribadi
Masalah lingkungan di Bopunjur bukanlah permasalahan yang muncul ke permukaan dalam waktu kekinian. Kerusakannya merupakan permasalahan yang sudah sejak lama menjadi pemikiran banyak pihak. Masalahnya bisa dikatakan merupakan persoalan laten. Kerusakan yang semakin meningkat, kini semakin membutuhkan penanganan yang cukup serius. Berbagai peraturan tidak efektif dilaksanakan. Duduk permasalahannya diperbesar dengan adanya keinginan pemerintahan daerah untuk meninggikan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berbagai lahan itu menjadi acuan bagi penciptaan lingkungan yang menghasilkan pendapatan daerah. Tiap daerah berusaha memperbesar PAD, lewat potensi lingkungan, tanpa memedulikan dampak kerusakannya. Pemerintahan daerah, tanpa memperhitungkan dampak negatif jangka panjang, menggali semua potensi PAD di wilayah pemerintahannya. Wilayah Puncak, Bopunjur, menjadi arena pencarian PAD yang tergolong potensial.
Ruang ekologis tidak lagi diperhitungkan manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat. Padahal, ruang-ruang di berbagai tempat dapat menjadi ketahanan lingkungan. Lahan-lahan itu tidak lagi menjadi laham tanaman dan pepopohonan dan hutan. Pendapatan dari lahan semacam itu terbilang kecil. Akan tetapi, pendapatan tersebut menjadi berubah, dan meningkat lebih tinggi, bila lahan-lahan tersebut dijadikan ruang-ruang pertumbuhan ekonomi berbasis industri pariwisata. Pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan vila atau perumahan dinilai akan melebarkan wilayah pencarian pendapatan daerah. Para pendatang yang menghuni perumahan atau vila, misalnya, akan memberikan suntikan ekonomi bagi penduduk asli, dan pemerintahan daerah di berbagai struktur sosial-ekonominya.
Pandangan seperti ini, terutama bila dikaitkan dengan garis kebijakan otonomi daerah, tidak dapat disalahkan. Kondisi geografis dan potensi kewilayahan serta tingkat sumber daya penduduk yang belum mencapai tingkat signifikasi tertentu bagi pencapaian kemandirian sosial-ekonomi, adalah diantaranya penyebabnya. Tekanan dari pusat ikut mendorong para pengelola pemerintahan daerah ini untuk segera mencapai pendapatan daerah yang tinggi. Pelbagai sarana dan prasarana pembangunan daerah mesti disediakan bagi kepentingan birokrasi dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk, yang telah digariskan pemerintahan pusat. Penyediaan sentra-sentra ekonomi, misalnya, membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk mendorong penduduk mengakselerasi kegiatan usaha.

Kelemahan Aparat
Kalau toh dilakukan penertiban, pada berbagai bangunan yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), hal itu dilakukan tanpa keseriusan, dipenuhi dengan tindakan penertiban yang berbau KKN. Yang dibongkar hanyalah warung-warung kopi saja, yang besar-besar tidak diapa-apakan.
Aparat pemerintahan daerah tidak konsisten dalam menegakan hukum lingkungan. Padahal, menurut beberapa pengamat, pelbagai aturan lingkungan di Bopunjur itu sudah ditata secara jelas: peraturan sudah banyak, mulai dari Keppres, Kepmen dan sebagainya. Tapi, yang jadi masalah, adalah pelaksanaannya: banyak yang bertindak tidak semestinya, tidak konsisten dan konsekuen dalam menegakkan aturan. Misalnya, jelas-jelas di sebuah kawasan tidak boleh ada bangunan, tapi masih juga diizinkan
Di samping itu, ada masalah punishment (ganjaran/sanksi), dan masalah koordinasi antarlembaga. Tatkala terjadi pelanggaran industri, dan masuk pengadilan, pelakunya hanya diancam hukuman kurungan satu bulan dengan denda lima juta. Model sanksi seperti begini, menurut beberapa pengamat, tidak setimpal. Dan, keadaan itu tambah diperparah dengan kemungkinan sistem pengadilan yang dicemari oleh pihak-pihak yang bermain. Serta, kemungkinan penyidikan aparat pemerintahan yang juga bisa dimainkan.
Permasalahan lingkungan akhirnya terkait dengan rmasalah pembangunan. Terjadi diferensiasi di masyarakat: antara pembangunan yang menekankan ekonomi ketimbang lingkungan, dan sebaliknya. Bias soalnya sampai kepada pengaturan antarlembaga negara: misalnya, bentrokan antara instansi “ekonomi” pemerintah dengan instansi “planologi” pemerintah: bentrok antara orang ekonomi dengan orang lingkungan. Kawasan tata guna lahan jadi soal ekonomi dan soal lingkungan.

Ketegasan Hukum
Dan, di masyarakat, bentrokan itu terjadi. Kondisinya kini banyak dimenangkan oleh pihak yang berdalil, yang penting untung. Ini terlihat dari, antara lain, bangunan rumah di atas gunung. Yang diteruskan dengan pembuatan jalan raya, ditambah dengan tiang-tiang listrik, dan akan terus bertambah dengan banyak bangunan lain: yang intinya, menyiratkan dibukanya akses untuk merusak lingkungan. Padahal, peraturannya sudah ada dan lengkap, bahkan (ada yang menilai), peraturan kita itu dianggap paling lengkap dan banyak. Tapi, kok tidak dijalankan. Nah, ini yang perlu dibenahi, keseriusan dan ketegasan.

Nya, ada industri yang membuang limbah pabriknya kelalang-keliling kesana-kemari, dan tiba-tiba muncul di satu tempat, yang salah. Belum lagi, aparatnya yang rentan dengan kolusi, suap dan lain sebagainya: yang memunculkan bangunan di tata ruang konservatif. Dan, penegakkan sanksi hukum internal pemerintahan yang hanya berupa mutasi kepada aparat tertentu. Padahal, di sana, ada dimensi kesalahan Kepala Dinas (yang membuat keputusan), aparat pelaksana (yang melaksanakan), pengusaha (yang menyuap), pemilik bangunan (yang membeli), dan seterusnya. Belum lagi, ketika pengawasan harus bekerja di pelosok pegunungan macam Puncak, yang jauh dari istana presiden, kantor menteri, kantor gubernur, kantor bupati/walikota, sampai jabatan dan instansi terkait lain.
Semuanya menjadi tambah sembelit. Akibatnya, keputusan dan kebijakan pun sebisa-bisa seorang pejabat mengambil langkah hukum yang paling mungkin

Penutup
Dalam pelaksanaan hukum tata ruang, diperlukan ketegasan hukum. Tanpa ini semua tidak akan pernah berhasil. Dorongan-dorongan yang diberikan agar orang menjadi ramah lingkungan, harus diiringi dengan ketegasan mematuhi aturan. Pada kawasan yang memang tidak boleh dibangun, harusnya tetap tidak boleh dibangun. Apabila masih terdapat kondisi bangunan tanpa IMB dan menyalahi aturan tata ruang, berarti belum ada ketegasan hukum.
Masyarakat sendiri tidak bisa disalahkan apabila mereka mendirikan bangunan, karena mempunyai aspek legalitas dari sisi kepemilikan tanah dan juga IMB. Persoalannya adalah, kepatuhan aparat dalam mengeluarkan status kepemilikan tanah dan IMB. Hal ini, menurut seorang antropolog, bahwa tanah adalah segala-galanya bagi komunitas yang mendiaminya, tetapi mereka tetap harus diawasi dan diberikan kontrol terhadap kepatuhan hukum secara ketat dan benar.

Sulitnya penegakan hukum di wilayah Jawa Barat dikarenakan penaatan hukum yang longgar. Ketaatan dan konsistensi aparat merupakan faktor kunci, karena melalui inilah hukum bisa ditegakkan. Aspek penaatan hukum adalah penekanan utama dalam hukum lingkungan. Yang pertama sekali harus menaati hukum lingkungan harusnya adalah aparatur pemerintah/birokrat itu sendiri, karena dari legalitas pendirian bangunan berawal.

Sebuah kebijakan publik di bidang apapun, termasuk pada lingkup tata ruang, harus dapat menjamin terciptanya lingkungan yang benar-benar sejahtera, baik bagi mereka yang bukan anggota publik (warga negara) maupun bagi generasi di masa depan (yang kini bahkan belum lahir). Di sini dikenal prinsip utilitarian yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum haruslah dimaksimalisasikan dengan jalan memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sejumlah besar orang, bukan hanya pada segelintir orang saja. *** Sekr. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Univ.Islam Bandung (LPPM-Unisba)

Tidak ada komentar: